kesehatan hutan

Rabu, 01 September 2010

Membedah Makna Keanekaragaman Hayati

 Membedah Makna Keanekaragaman Hayati 
Oleh : F.Latumahina.S.Hut.MP
         Dosen Fak. Pertanian Unpatti Ambon 


Keragaman (Diversitas)  adalah gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing – masing jenis dalam satu komunitas.( Desmukh, 1992) . Istilah diversitas dalam ekologi umumnya mengarah pada keanekaragaman jenis. Selain itu diversitas juga merupakan suatu keragaman / perbedaan diantara anggota – anggota sekelompok populasi baik hewan maupun tumbuhan. (Mc Noughton,dkk.1978).
Keragaman jenis adalah suatu karekterisasi tingkat komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis  yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis.  Keanekaragaman diantara mahkluk hidup dapat diukur dari jumlah total jenis baik binatang,  tumbuhan , mikroorganisme di muka bumi.  Dalam pasal dua (2) konvensi Perserikatan Bangsa – bangsa ( PBB) dijelaskan bahwa keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara mahkluk hidup dari semua sumber, termasuk diantarnya daratan, lautan, ekosistem akuatik lainnya serta komplex – komplex  ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman yang mencakup keanekaragaman dalam spesis, antar spesis maupun ekosistem.
   Keanekaragaman hayati (Biodiversitas) menggambarkan tingkat keanekaragaman yakni banyaknya jenis ( Famili atau spesis ) organisme di dalam    komunitas (Krebs,1985). Keanekaragaman hayati merupakan konsep yang mengacu pada kisaran variasi biotic di alam dan biasanya digunakan untuk menjelaskan jumlah variasi organisme hidup, sehingga sering pula dikatakan keanekaragaman hayati merupakan salah satu unsur yang selalu ada dan sebagai unsur kehidupan di alam (Subagya,1996 dan Magoendiharjo,1996). Keanekaragaman hayati di dalam ekosistem mempunyai arti yang sangat penting karena keanekaragaman hayati dapat berperan sebagai sumberdaya  maupun dalam pemeliharaan ekosistem sehingga tetap menunjang kehidupan manusia.
Keanekaragaman hayati terbagi atas tiga jenis yakni keanekaragaman jenis, keanekaragaman ekosistem, dan keanekaragaman genetik ( Masyud,1992). Keanekaragaman hayati  mencakup diversitas atau kekayaan jenis ( Species richness ) , kemerataan dari masing – masing jenis (Eveness atau equitability) dominansi jenis dan model distribusinya. Ukuran diversitas jenis dalam suatu komunitas dapat dinyatakan sebagi suatu besaran atau index. Salah satu index yang paling umum dipakai adalah index diversitas Shanon – Wiener ( H ‘) . Index ini menggabungkan antara jumlah jenis dan kemerataan kelimpahan individu yang dikembangkan berdasarkan teori informasi yang mengukur tingkat ketertauran and ketidakteraturan atau ketidakpastian (uncertainly) dalam suatu system ( Krebs,1985 ) . Nilai diversitas akan semakin tinggi pada komunitas yang jumlah jenisnya semakin banyak dengan penyebaran yang lebih merata (Price,1984; Krebs,1983), sedangkanm dominansi jenis mempunyai hubungan yang erat dengan diversitas jenis organisme di dalam komunitas. Menurut Price (1984) suatu komunitas tidak akan memiliki indeks diversitas yang tinggi apabila dalam komunitas terdapat satu atau lebih jenis yang dominansinya mencolok jauh diatas sebagian besar jenis lain – lainnya. Dalam ekosistem keanekaragaman spsesis tidak hanya cukup dinyatakan dalam kekayaan spesis saja, tetapi perlu diketahui pula keanekaragaman taksa di dalamnya. Dengan mengetahu keanekaragaman taksa ini, maka  pengetahuan mengenai ekosistem tidak sekedar spesis penyusun antara biotik saja yang diketahui, tetapi juga peranan dalam ekosistem yang nantinya akan berguna untuk pengelolaan ekosistem (Groobridge,1992 dan Subagya ).
Dalam ekosistem dengan keanekaragaman yang tinggi umumnya terdapat rantai makanan yang lebih panjang dan kompleks, sehingga lebih banyak terjadi interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi, komensalisme, mutualisme dan kemungkinan – kemungkinan yang lebih besar terjadinya pengendalian umpan balik negatif dari interaksi tersebut dapat mengurangi goncangan – goncangan, sehingga ekosistem tetap berlangsung stabil   ( Odum,1988 ).
 Menurut Price (1984), rantai makanan yang lebih kompleks maka komunitas yang bersangkutan lebih mampu menyangga adanya perubahan lingkungan sehingga stabilitas tetap terjaga. Keanekaragaman eksosistem terbentuk adanya struktur komunitas yang baru pada suatu mata rantai atau jaringan makanan yang rumit dengan susunan yang khas. Dengan struktur yang kompleks maka akan terjadi interaksi terus - menerus dan bersifat dinamis antara komponen – komponen ekosistem yaitu antar kelompok produsen ( Tanaman), hebrivora, karnivora tingkat I dan II sehingga dapat membentuk suatu kondisi keseimbangan dan stabiilitas ekosistem yang dinamis. Pada kondisi keseimbangan dinamik tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan populasinya menonjol, dibandingkan dengan populasi organisme – organisme lain, serta komponen – komponen pengendali alami lainnya seperti faktor – faktor abiotik yaitu iklim mikro dan kondisi tanah       ( Untung,1996).
Secara alami populasi suatu organisme dalam suatu ekosistem terkendali oleh karena adanya keanekaragaman ekosistem  baik dalam jenis, antar komponen serta kenekaragaman fungsional  yaitu dalam bentuk hubungan trofi antara suatu komponen dengan komponen lainnya. Diversitas jenis menyatakan banyaknya jenis perunit areal tertentu sedangkan diversitas genetik menunjukan jumlah gen alel dalam populasi. Dalam ekosistem masalah diversitas umumnya mengarah pada diversitas jenis,oleh karena itu pengukuran diversitas dilakukan dengan melihat jumlah jenis tertentu dan kelimpahan relatif jenis tersebut dalam satu komunitas.
Keanekaragaman atau diversitas ditentukan oleh dua komponen yakni jumlah spesis organisme dalam komunitas dan jumlah individu antara spesis sama atau seimbang..  Satu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi apabila kelimpahannya sama banyak atau hampir sama dari jenis yang ada        ( Masyud,1992). Keragaman serangga dan vegetasi akan berbeda dari satu tempat ketempat laiinya, tergantung dari kondisi lingkungan hutan serta faktor luar lainya. Dimana keragaman serangga dan vegetasi akan cendrung lebih tinggi pada komunitas yang lebih lama dibandingkan dengan dengan komunitas yang baru terbentuk. Brower dan Zar (1979) menyatakan suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi apabila jenis yang melimpah banyak ditemui dalam komunitas tersebut, dengan demikian diversitas yang tinggi merupakan indikasi bahwa komunitas tersebut sangat komplex. Umumnya diversitas jenis maupun genetik sangat tinggi pada  wilayah – wilayah yang berbeda geografisnya ,dimana pada lingkungan yang tidak seragam secara spasial akan memberikan kesempatan untuk lebih mengganggu seleksi dan kemudian spesialisasi, baik diversitas spesies maupun  genetik tetap cukup tinggi  ( Unesco,1997).
Berkurangnya keanekaragaman hayati akan mempunyai dampak negatif yang cukup besar diantaranya akan mempengaruhi ketahanan/stabilitas ekosistem terhadap goncangan faktor luar, berpengaruh pada kemampuan untuk memproduksi tanaman baru, serta mempengaruhi kepastian masa depan untuk kebutuhan generasi akan datang ( Djuwantoko,2004).  Keanekaragaman hayati di dalam ekosistem mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber daya maupun dalam pemeliharaan ekosistem (Subagja, 1996). Menurut Price (1984) arti penting tersebut terutama karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem. Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah  ada gangguan (Seperti perubahan iklim yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengena populasi tersebut (Krebs, 1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme lain (Untung, 1996). Hubungan antara keanekaragaman hayati dan stabilitas ekosistem berkaitan dengan fenomena struktur tropik atau rantai makanan. Sejumlah ahli yang mendukung hipotesis ini, antara lain MacArthur (1955) dan Margalef (1057) (cit. Colinvaux. 1986). Hipotesis tersebut menyebutkan bahwa populasi spesies dalam rantai makanan yang kompleks fluktuasinya lebih kecil daripada populasi serupa dalam rantai makanan yang sederhana. Dalam ekosistem dengan diversitas tinggi umumnya terdapat rantai makanan yang lebih panjang dan lebih kompleks, sehingga lebih banyak terjadi interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi, komensalisme, mutualisme, dan sebagainya. Adanya pengendalian umpan balik negatif dari interaksi-interaksi tersebut, keseimbangan ekosistem tidak mudah berubah karena guncangan, sehingga ekosistem berlangsung stabil (Odum, 1971). Menurut Price (1984), jika rantai makanan lebih kompleks komunitas yang bersangkutan lebih mampu menjadi penyangga adanya perubahan lingkungan sehingga kestabilan tetap terjaga.
2.2. Faktor yang mempengaruhi  Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati dalam suatu komunitas juga sangat dipengaruhi oieh lingkungan hidupnya. Krebs (1985) menyebutkan enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis organisme, yakni: waktu, heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas. Keenam faktor tersebut saling berkaitan dan tidak bekerja sendiri-sendiri.
1.  Waktu
Selama kurun waktu geologis berjalan akan terjadi perubahan keadaan lingkungan.    Hal    ini    mengakibatkan   banyak    individu    yang    tidak    dapat mempertahankan kehidupannya lagi, tetapi ada juga kelompok-kelompok individu yang mampu bertahan   hidup terus dalam waktu relatif iama sebagai hasil proses evolusi (Untung, 1993). Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat populasi spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Untung, 1993). Semakin lama waktu berlangsung berarti makin banyak kesempatan bagi spesies organisme untuk beradaptasi dengan sumberdaya lingkungan setempat (Price, 1984), bahkan kemudian mengalami spesialisasi dan pemencaran yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan keanekaragaman hayati (Krebs, 1985). Price, (1984) dan Stilling (1992) mengatakan komunitas yang lebih tua, yang lebih lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad hidup daripada komunitas muda yang berarti lebih tinggi tingkat keanekaragaman hayatinya. Meskipun demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan berfungsi melalui satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keanekaragaman hayati (Krebs 1985)
2.  Heterogenitas Ruang
Heterogenitas ruang umumnya terdapat dalam lingkungan yang rumit. Lingkungan yang heterogen dan rumit memiliki daya dukung lebih besar terhadap keanekaragaman organisme yang ada di dalamnya (Price, 1984; Krebs, 1985: Stiling, 1992). Heterogenitas topografik dan mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengarub pada banyaknya spesies tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas vegetasi ini yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman herbivora maupun komponen-komponen trofik berikutnya (Stiling, 1992).  Keanekaragaman spesies di habitat alami akan lebih tinggi di mikrohabitat dengan suhu yang hangat dan curah hujan yang tinggi, dan sebaliknya keanekaragaman spesies akan menurun dengan meningkatnya ketinggian tempat dan garis lintang (Groombridge, 1992 ; Subagja, 1996). Di daerah tropik keanekaragaman spesies , tumbuhan lebih tinggi daripada di subtropik, sehingga mempunyai daya dukung yang besar terhadap keanekaragaman spesies herbivora dan kamivora serta menyediakan relung yang lebih banyak untuk didiami organisme (Stiling, 1992 ). Pielou (1975) pada lingkungan dengan topografi, flora dan faktor lain yang semakin beragam memungkinkan adanya banyak relung yang bisa menampung .lebih banyak jenis jasad hidup.
3.   Persaingan
Persaingan (kompetisi) dalam suatu komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat dari asalnya. Pertama persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sendiri yang disebut intrasepesifik dan yang kedua persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut ekstraspesifik (Subagja, 1996). Menurut Tarumingkeng (1994) proses persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies, karena strategi spesies dalam persaingan merupakan arah seleksi spesies yang menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam mempertahankan suatu tingkat kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya.
Di daerah subtropik seleksi alam lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik yang ekstrim, sedangkan di daerah tropik faktor utama yang mengendalikan seleksi alam adalah persaingan antar komponen biologik (Price, 1984).
Tajamnya kompetisi di daerah tropik telah metnaksa spesies-spesies organisme yang hidup di dalamnya untuk memiliki daya adaptasi yang tinggi (Krebs, 1985). Menurut Emlen (1973) evolusi adaptasi makhluk hidup akan mengubah relung-relung spesies menjadi lebih kecil. Jika suatu komunitas atau ekosistem tersusun oleh relung-relung spesies kecil, akan ada lebih banyak jenis yang dapat berkoeksistensi (hidup berdampingan) di dalamnya.
4.   Pemangsaan
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional tingkat tropik atau pemangsaan (Odum, 1988). Menurut Krebs (1985), pemangsaan dan persaingan saling menunjang di dalam mempengaruhi keanekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies-spesies yang dimangsa (herbivora), sedang fluktuasi keanekaragaman jenis pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Odum (1988) menyatakan bahwa efisiensi pemangsaan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat lingkungan utama oleh suatu jenis. Sedangkan efisiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain frekuensi makan, selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa, kualitas makanan dan adanya inang alternatif.
Menurut Paine (1966 cit. Price, 1984: Stiling, 1992), kondisi daerah tropik memungkingkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang. Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi longgar. Pada kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut.

5.  Stabilitas lingkungan
Komunitas sangat dipengaruhi pleh lingkungan fisiknya (seperti radiasi matahari, curah hujan, suhu, kelembaban, salinitas, pH dan iain-iain) yang secara bersama-sama membentuk ekosistem. Komunitas di dalam lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada hutan tropik niempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering mengalami gangguan musiman secara periodik (Odum, 1988). Menurut Krebs (1985), lingkungan yang stabil lebih menjamin keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih memungkinkan berlangsungnya evolusi daripada lingkujlgan yang berubah-ubah (tidak stabil). Evolusi tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beraneka ragam
6.   Produktivitas
Produktivitas atau arus energi seluruhnya mempengaruhi keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas (Price, 1984), Menurut Connell dan Orias (1964 vit. Krebs,   1985),  makin besar  produktivitas  suatu  ekosistem  makin  tinggi  pula ' keanekaragaman jenis organisme, jika keadaan semua faktor lain sama. Menurut Colinvaux (1986), tingkat produktivitas ekosistem dipengaruhi letak lintang geografis dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Ekosistem di daerah tropik mempunyai tingkat produktivitas tinggi, dan kian menurun ke arah kutub. .Begitu pula, ekosistem di daerah dataran rendah mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan semakin menurun ke arah dataran tinggi. Hal ini karena di daerah tropik dan dataran rendah mempunyai iklim yang relatif lebih stabil, sehingga hanya relatif sedikit energi yang perlu dialokasikan untuk proses pengaturan keseimbangan. Sebaliknya cukup banyak energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Dengan demikian populasi maupun jenis organisme di daerah tropik bertambah lebih cepat. Krebs (1985) menambahkan, masa pertumbuhan yang lebih di daerah tropik menghasilkan komponen spesies yang terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan keanekaragaman jenis yang lebih banyak.
Keanekaragaman hayati di dalam ekosistem mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber daya maupun dalam pemeliharaan ekosistem (Subagja, 1996). Menurut Price (1984) arti penting tersebut teruftoia karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem. Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah ' ada gangguan (seperti perubahan iklim yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengena populasi tersebut (Krebs, 1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme lain (Untung, 1996).
Hubungan antara keanekaragaman hayati dan stabilitas ekosistem berkaitan dengan fenomena struktur tropik atau rantai makanan. Sejumlah ahli yang mendukung hipotesis ini, antara lain MacArthur (1955) dan Margalef (1057) (cit. Colinvaux. 1986). Hipotesis tersebut menyebutkan bahwa populasi spesies dalam rantai makanan yang kompleks fluktuasinya lebih kecil daripada populasi serupa dalam rantai makanan yang sederhana. Dalam ekosistem dengan diversitas tinggi umumnya terdapat rantai makanan yang lebih panjang dan lebih kompleks, sehingga lebih banyak terjadi interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi, komensalisme, mutualisme, dan sebagainya. Adanya pengendalian umpan balik negatif dari interaksi-interaksi tersebut, keseimbangan ekosistem tidak mudah berubah karena guncangan, sehingga ekosistem berlangsung stabil (Odum, 1971).
           

Tidak ada komentar: