kesehatan hutan

Rabu, 01 September 2010

FragMenTasi Habitat Gunung Nona Ambon


Kajian Fragmentasi Habitat Terhadap Diversitas Semut
Dan  Perananya Sebagai  Indikator Ekologi Dalam Kawasan
Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon 
Oleh : Fransina Latumahina.S.Hut.MP
Dosen Faperta Unpatti Ambon 

Indonesia adalah negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna di dunia sehingga Indonesia disebut sebagai negara Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia, yang mana dari setiap jenis tersebut terdiri dari ribuan plasma nutfah dalam kombinasi yang cukup unik sehingga terdapat aneka gen dalam individu. Secara total keanekaragaman hayati di Indonesia mencapai 325.350 jenis flora dan fauna.
Tekanan terhadap kawasan hutan melalui aktivitas penyerobotan kawasan hutan , untuk pembukaan lahan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap habitat hutan yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan akan berimbas pada hilangnya keanekaragaman hayati flora dan fauna dan pada gilirannya akan menjadi ancaman terhadap fungsi dan peran kawasan hutan secara berkelanjutan (Hoekstra  et al., 2005).
Fragmentasi habitat dalam hutan dapat terjadi secara alami tanpa disengaja oleh manusia dan dapat terjadi karena pengaruh manusia didalamnya. Secara alami fragmentasi terjadi karena adanya proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak sebuah ekosistem dan adanya aktivitas manusia melalui beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain aktivitas perubahan lanskap melalui pembangunan jalan secara parmanen didalam dan sekitar hutan, penyerobotan hutan untuk dijadikan kawasan pemukiman, pembukaan lahan pertanian, perkebunan, tegalan dan pembakaran hutan secara sengaja.
Semua faktor ini akan mengubah eksosistem hutan secara cepat sehingga secara alami dapat menyebabkan terjadinya spesiasi dan terjadinya kepunahan banyak spesies dimana habitat yang sebelumnya terhubung dalam kesatuan fungsional akan terbagi menjadi dua fragmen atau lebih dan setelah terjadi pembersihan habitat yang intensif, kedua fragmen yang terpisah tersebut akan terisolasi satu dengan lainnya. Selain itu juga akan terjadi pecahnya lanskap yang luas menjadi bidang-bidang lahan (patch) yang lebih kecil dan biasanya patch ini secara ekologis akan berkurang bahkan tidak lagi berhubungan satu sama lain (Theobald, 2000).
Fragmentasi habitat hutan akan ikut mempengaruhi kondisi iklim mikro didalam sebuah ekosistem hutan terutama terhadap  intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin (Laurance 2000). Fragmentasi Habitat juga dapat menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang serta terbagi-bagi  dan mengalami isolasi oleh bentang alam yang terdegradasi ,dimana pada bentang alam tersebut daerah tepinya akan mengalami serangkaian perubahan kondisi yang dikenal dengan efek tepi. ( Laurance dkk.2001, Spellerberg dkk.2002, Forman dkk.2002). Efek tepi dapat menambah daerah tepi secara drastic sehingga lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro daerah bagian tengah dimana efek tepi ini masih dapat dideteksi  hingga 250m kedalam hutan dan juga  tepi efek dapat menciptakan evolusi tanaman atau pun microba pengganggu spesies yang akhirnya mendominasi habitat dan terjadi serangan spesies asing dan terjadi pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas pada fragmen kecil serta terjadinya isolasi spasial populasi yang masih tersisa.  (Rochelle dkk .1999).
Ketika habitat  telah ter fragmentasi atau tersub-populasi  menjadi areal yang terbatas , maka kondisi ini dapat mempercepat proses pemusnahan mahkluk hidup baik flora maupun fauna sehingga muncul  populasi yang berukuran kecil sehingga akan sangat rentan terjadinya perkawinan silang dalam atau perkawinan sedarah (inbreeding), dan terjadi penurunan genetik (genetic drift)
Konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon pada tahun 1999 memberikan dampak bagi kehidupan sosial masyarakat di Kota Ambon. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan tempat untuk mencari nafkah. Akibat dari terbatasnya ruang gerak warga masyarakat Kota Ambon saat itu maka banyak warga yang mencari tempat baru untuk bermukim dan mencari nafkah yang jauh lebih aman dari lokasi tempat tinggal sebelumnya. Salah satu pilihan yang tersedia pada saat itu dan dianggap cukup aman adalah Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon yang terletak sekitar 8 km dari pusat Kota Ambon  atau sekitar 3 km dari pemukiman penduduk yang terkesan aman bagi sebagai warga Kota Ambon.  Hutan lindung Gunung Nona dianggap aman oleh sebagian masyarakat karena warga bebas untuk membangun pemukiman mereka tanpa terganggu oleh konflik, membuka hutan untuk dijadikan lahan bercocok tanam baik lahan pertanian , tegalan maupun perkebunan. Dimana dengan aktivitas ini warga dapat mempertahankan hidup mereka selama konflik benar benar berakhir di kota Ambon. Disisi lain saat itu juga pemerintah Kota Ambon tidak memberikan larangan kepada warga untuk tidak boleh beraktivitas dalam kawasan, pemerintah kota Ambon seakan – akan menutup mata terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu juga terjadi konflik antara pemilik tanah dengan pemerintah Kota Ambon menyangkut status tanah dari hutan Lindung Gunung Nona ini, akibatnya Hutan Gunung Nona benar – benar tidak mendapat perhatian sama sekali dalam pengelolaannya hingga saat ini.
Penyerobotan areal oleh masyarakat kedalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan sangat mempengaruhi fungsi dan peran dari kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon. Fragmentasi habitat hutan Gunung Nona menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang serta terbagi-bagi menjadi beberapa fragment/perca (Laurance dkk.2001, Spellerberg dkk.2002, Forman dkk.2002). Hasil survey dan pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kota Ambon bersama Bapedda Kota Ambon akhir tahun 2008 menemukan bahwa saat ini Hutan Lindung Gunung Nona telah mengalami alih fungsi  kawasan menjadi pemukiman seluas 30 Ha, pertanian (150 ha), perkebunan  (146 Ha), tegalan (60,76 Ha), dan hanya tersisa 140 Ha berupa hutan murni dan semak belukar seluas 34,85 Ha. Proses alih fungsi kawasan hutan lindung Gunung Nona menjadi bentuk lain ini menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan memberikan pengaruh besar terhadap kekayaan dan keanekaragaman serangga dalam kawasan. Gangguan fungsi dan peran kawasan hutan lindung Gunung Nona makin diperparah dengan pembangunan jalan aspal di beberapa lokasi dalam kawasan dan membelah kawasan hutan Gunung Nona, akibatnya tutupan hutan yang dikorbankan untuk pembangunan jalan dalam kawasan untuk menunjang mobilisasi beberapa stasiun pemancar televisi pemerintah dan swasta di Kota Ambon.
Semut yang berasal dari famili Formicidae, ordo Hymenoptera banyak ditemukan pada hampir setiap jenis ekosistem kecuali di daerah kutub termasuk dalam kawasan hutan lindung. Kehadiran semut dalam sebuah ekosistem dapat berperan sebagai predator (72 genera ), dekomposer (31 genera ) dimana semut mampu menghancurkan materi tumbuhan dan hewan yang telah mati, sehingga mempercepat dekomposisi dan pembentukan humus dalam hutan, pemakan bangkai (2 genera), parasit  (1 genera) dan sebagai herbivora (21 genera) dengan menjadi hama bagi tanaman, karena semut akan memakan dedaunan, cairan tumbuhan, embun madu, jamur (12 genera), biji – bijian (3 genera), nectar (5 genera) dan pemakan tepung sari (12 genera), sebagai karnivora (10 genera ) dan Omnivora (7 genera) dan yang sangat penting adalah semut dapat digunakan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi sebuah ekosistem hutan karena semut mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, menyebar dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi dan memungkinkan untuk diidentifikasi (Wilson, 1976; Hölldobler & Wilson, 1990).  Sebagian besar semut mempunyai lokasi hidup tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah mencari makan yang terbatas, sehingga akan sangat mudah dijadikan indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002; Longino et al., 2002).
Di Indonesia , semut dapat mencapai jumlah yang sangat banyak dengan variasi jenis yang cukup tinggi dalam ekosistem hutan, namun penelitian ilmiah dan publikasi mengenai potensi semut di Indoenesia masih sangat minim dilakukan. Hasil penelitian tahun 2001 tentang keanekaragaman semut dalam kebun raya Bogor ditemukan 216 jenis dan meningkat ditahun 2005 menjadi 226 jenis dengan adanya penambahan 10 jenis lainnya (Herwina dan Nakamura, 2007). Dalam publikasinya tahun 2008, Ito et al  menjelaskan bahwa hasil inventarisasi terhadap semut dalam Kebun Raya Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan 7 metode sampling antara tahun 1985 hingga tahun 1998 ditemukan 216 spesies dengan 9 sub subfamily. Melalui perbandingan hasil penelitian ini ditambah dengan beberapa laporan dari wilayah hutan hujan tropika Asia, maka dijelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun Raya Bogor mirip dengan yang ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah lainnya di Jawa Barat, namun sangat berbeda dengan yang ditemukan pada hutan hujan di wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah ditemukan pada hutan primer dataran rendah di wilayah Asia lainnya (Brühl et al., 1998 dan lihat Ito et al., 2001). Namun demikian Kebun Raya Bogor yang terletak di pusat perkotaan dengan tingkat ganguan manusia yang cukup tinggi mampu menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang di temukan di wilayah subtropika dan temperate (Ito et al.,2001).
Kekayaan dan keanekaragaman semut dalam habitat akan tetap terjaga apabila kondisi habitat berada dalam kondisi seimbang, tidak mengalami gangguan dan tidak terfragmentasi, karena kondisi ini akan mengancam populasi semut yang ada. Kondisi terfragmentasi ini disebabkan karena beberapa faktor yang terjadi diantaranya terjadinya dalam habitat, banjir, erosi, bencana alam, aktivitas manusia dengan melakukan pembakaran secara sengaja, pembukaan lahan dan alih fungsi ekosistem menjadi bentuk lainnya.  Fragmentasi habitat yang terjadi dalam kawasan hutan Gunung Nona bukan hanya mempengaruhi fungsi dari kawasan hutan ini, tetatpi juga sangat mempengaruhi dan menganggu kehidupan fauna khususnya serangga yang hidup didalamnya. Salah satu serangga yang ikut mengalami dampak akibat terfregmentasinya hutan Gunung Nona adalah semut, padahal semut memiliki banyak peran dalam sebuah ekosistem . salah satu peran penting semut adalah dapat dijadikan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi kesehatan sebuah ekosistem.
Semut yang berasal dari ordo Hymenoptera banyak ditemukan dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon dan mampu berperan secara aktif dalam kawasan. Rahmawaty (2004) menyebutkan bahwa semut dapat mencapai 70 % dari populasi fauna tanah tropika dan  dapat membantu kesuburan tanah hutan serta berperan dalam proses suksesi dan berpengaruh terhadap stabilitas ekosistem hutan. Kekayaan dan keanekaragaman jenis semut dan vegetasi akan menjadi sumber kekuatan bagi hutan lindung Gunung Nona guna menunjang kawasan untuk berfungsi dan berperan sebagai kawasan lindung di Kota Ambon. Salah satu peran penting dari semut dalam ekosistem hutan adalah sebagai indikator biologi untuk menilai kualitas sebuah eksosistem. Dalam penelitian ini semut akan dijadikan sebagai serangga indikator untuk menilai sejauh mana fragmentasi yang telah terjadi dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon karena semut mampu memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem (Greenland dan Szaboles dalam Matfuah et all, 2002).
 Semut dapat mendeteksi perubahan dalam ekosistem yang mencerminkan arah dan laju dampak spesifik dari ekosistem. (Andersen,1997 ; King et al.1998). Semut mampu menciptakan korelasi yang kuat terhadap variabel – varibel dalam ekosistem yakni vegetasi , iklim mikro, tanah, struktur vegetasi hutan dan kekayaan faunal tanah lainnya. Semut  berperan menentukan keseimbangan ekosistem dan populasi spesies lain dalam sebuah ekosistem sehingga ketika terjadi perubahan pada populasi semut maka perubahan tersebut akan berhubungan erat dengan perubahan dalam ekosistem hutan. Semut dapat mendeteksi kehadiran spesies invasif, mendeteksi trend yang terjadi diantara spesis yang terancam punah dalam ekosistem, mengevaluasi tindakan pengelolaan tanah dan menilai perubahan ekosistem dalam jangka panjang. Dalam ekosistem hutan semut sangat repsonsif terhadap berbagai kegiatan konversi lahan karena konversi lahan akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman vegetasi, struktur vegetasi,  dapat mempengaruhi iklim mikro dalam tanah, karakteristik humus dan suhu permukaan tanah ( Levin and windstor,1994). 
Sahabudin (1998) mengatakan bahwa makrofauna tanah termasuk semut mampu menilai kesehatan ekosistem hutan. Beberapa studi tentang penggunaan semut sebagai indikator ekosistem telah banyak dilakukan antara lain pada areal reklamasi tambang di Australia (Majer 1985, 1996; Andersen 1993 dan Brasil (Majer 1994).  Semut juga sangat efektif untuk menilai gradien lingkungan untuk tujuan pengelolaan tanaman di Nikaragua dan Costarica dimana akan terjadi sosiasi antara keanekaragaman semut dan sayuran  yang ditanam. Delabie dan Fowler (1993) menemukan bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi kehadiran semut dalam perkebunan Kakao di  Brasil karena hal ini berkaitan dengan kandungan nitrogen pada tanaman yang ditanam , pengelolaan tanah dan kondisi tanah pada perkebunan tersebut dimana komposisi semut dalam ekosistem sangat tergantung pada kondisi lingkungan, dimana semut akan mengalami perubahan kehadiran, vitalitas dan respon sebagai akibat pengaruh kondisi lingkungan yang terjadi. Semut akan memberikan respon apabila terjadi gangguan terhadap vegetasi dan tanah sebagai habitat hidupnya. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman semut dalam ekosistem adalah intensitas cahaya matahari, kelembabab udara, temperatur dan air serta musim dimana musim akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan, kemampuan hidup semut dan kelimpahannya di alam. 
Semut juga dapat menjadi indikator polutan dialam dibandingkan invertebrata lain terutama untuk radioaktivitas dan polutan yang diakibatkan kegiatan industri (Torossian dan Causse, 1968; Le Masne dan Bonavita-Coug,1972) Petal et al., 1975). Hal ini disebabkan karena sekitar 10 % dari populasi semut berada di luar sarang sehingga akan terkena dampak negatif dari polutan, sehingga akan mengubah pola kegiatan semut pada saat polutan semakin banyak meskipun  kurang berbahaya, namun kepadatan koloni semut dan jumlahnya akan semakin menurun dengan semakin tingginya tingkat polusi (Petal, 1978a). Semut dapat menjadi salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor keanekaragaman hayati karena sebagian besar semut mempunyai lokasi tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah mencari makan yang terbatas, sehingga semut dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem dan populasi spesies lainnya sehingga ketika terjadi perubahan pada populasi semut maka kondisi tersebut berhubungan erat dengan perubahan kondisi hutan. (Chung & Mohamed, 1996 ; Peck et al, 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al. 2002 , Longino et al. 2002),
Bertolak dari dasar pikir ini maka diharapkan lewat penelitian ini akan mendapat gambaran tentang pola fragmentasi yang terjadi dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon sebagai akibat dari tekanan aktivitas manusia, dampak yang dari terfragmentasi kawasan hutan lindung, bagaimana menilai kwalitas habitat hutan lindung Gunung Nona meskipun telah terfragmentasi dengan menggunakan semut sebagai indikator ekologinya.


Explorasi dan Identifikasi Hama Penganggu Tanaman Sengon
( Paraserianthes falcataria) Di Hutan Kemasyarakatan Kairatu
Kabupaten Seram Bagian Barat  Propinsi Maluku

Fransina.S.Latumahina.S.Hut.MP
Email : sin_latumahina@yahoo.com
Staf Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Ambon

1.1. Latar Belakang
Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu tanaman yang sekarang menjadi primadona dan banyak diusahakan untuk dikembangkan dalam kawasan hutan tanaman perkebunan maupun kebun milik rakyat (hutan rakyat). Salah satu kelebihan sengon adalah pertumbuhannya yang sangat cepat oleh karena itu tanaman sengon pernah dijuluki sebagai pohon ajaib (Miracle tree) dan bersifat multifungsi, memberikan dampak ganda, baik sebagai tanaman produksi maupun sebagai tanaman konservasi dan reboisasi. Faktor pembatas dalam pengembangan tanaman sengon adalah serangan hama yang dapat menurunkan produksi tanaman Sengon baik secara kuantitas maupun kualitas akibat serangan hama yang dapat mematikan tanaman mulai dari tingkat semai sampai dengan tegakan di lapangan. Oleh karena itu perlindungan tanaman sengon merupakan komponen yang cukup penting dalam pengembangannya. Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu diadakan penelitian yang lebih mendetail untuk mengetahui jenis hama dan intensitas kerusakan sera luas serangan yang ditimbulkan pada tanaman Sengon di lokasi hutan kemasyarakatan Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat sehingga langkah – langkah pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan sedini mungkin.





1.2. Tujuan Penelitian
      Penelitian ini bertujuan untuk mengexplorasi dan mengidentifikasi jenis – jenis hama yang menyerang tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria, Nielson) serta menentukan intensitas kerusakan dan luas serangan yang ditimbulkannya.

II. METODE PENELITIAN

2. 1.   Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian lapangan di kawasan Hutan Kemasyarakatan  Desa Waesamu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat pada bulan Januari  hingga Maret 2009 dan dilanjutkan dengan penelitian laboratorium pada Laboratorium Biologi Dasar Fakultas KIP Universitas Pattimura Ambon pada bulan April 2009  hingga selesai    .
2.2   Alat Dan Bahan
Peralatan
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : teropong, kompas, lup (kaca pembesar), mikroskop, kamera, kantong plastik, pisau, tali arafia, parang, botol, karet gelang, dan alat tulis-menulis, kapas, amplop, altimeter, thermometer, hekter, pinset.
Bahan
Yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian ini adalah hama - hama pada tanaman  Sengon dengan bahan penelitian adalah  : alkohol 70 % .
2.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei, dengan cara pengambilan sampel pada areal seluas 2 Ha , dimana terdapat 530 tanaman dan dari tanaman ini diambil sampel sebesar 20 % sehingga total pohon sampel adalah 106  pohon sampel. Pengamatan pohon sampel dilakukan terhadap daun, dengan menggunakan sistem arah mata angin (utara, barat, timur, selatan) pada tiap tingkatan tajuk  ( Atas, tengah dan bawah ).  Sedangkan untuk hama yang menimbulkan kerusakan pada akar dan batang maka pengamatan dilakukan terhadap batang dan akar.
2.4. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium.
 2.4.1. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilaksanakan dengan menggunakan metode pengumpulan data  untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melaksanakan penelitian langsung ke lapangan untuk melihat hama dan intensitas kerusakan yang ditimbulkan serta sistem kultur teknis pada areal pertanaman antara lain sanitasi, pemupukan dan tindakan pengendalian hama. Data sekunder meliputi keadaan curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang diperoleh dari stasiun meteorologi setempat.
Untuk memudahkan dalam pengolahan data, maka setiap tanaman terlebih dahulu ditentukan intensitas serangannya berdasarkan keadaan tajuk tanaman, tingkat serangan dan nilai/skor (Mardji,  1996) sebagai berikut:
       Tabel  1.  Cara menentukan intensitas serangan hama pada setiap tanaman.
Keadaan tajuk tanaman

Tingkat serangan
Nilai/Skor
Sehat
        Sehat
0
Tajuk terserang/mati 1-24%
        Ringan
1
Tajuk terserang/mati 25-49%
        Sedang
2
Tajuk terserang/mati 50-74%
        Berat
3
Tajuk terserang/mati 75-100%
        Sangat berat
4
Tajuk dan batang tanaman mati
        Mati
5

Hasil pengamatan yang diperoleh di lapangan kemudian diolah dan dilakukan perhitungan menggunakan pendekatan  dari James, 1974 :
    


Jumlah tanaman yang terserang

Frekuensi Serangan
=
 -----------------------------------------
 Jumlah tanaman yang diamati
X  100 %

 Tabel 2. Cara menentukan tingkat kerusakan akibat serangan hama.
Intensitas Serangan ( %)

Kondisi Tanaman

0
-
1
Sehat
2
-
    25
Ringan
26
-
    50
Sedang
51
-
    75
Berat
76
-
  100
Sangat Berat

Untuk menghitung luas serangan akibat serangan setiap jenis hama tersebut maka digunakan rumus luas serangan yang dikemukakan oleh Natawigena (1982) :
            a
P  =           x 100 %
            b
Dimana : P  : Luas serangan
                         a   : Banyaknya tanaman contoh yang diserang
                         b   :  Banyaknya tanaman contoh yang diamati
2.4.2. Penelitian Laboratorium
Penelitian laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi jenis hama yang ditemukan hingga tingkat spesies dengan   menggunakan   kunci   determinasi  serangga menurut Borror, dkk (1992) serta Achmad Sultoni dan Kalshoven (1981).

III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Kehadiran Jenis Hama
Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan hasil identifikasi laboratorium maka jenis hama yang menyerang tanaman Sengon laut (Paraserianthes falcarataria Nielson) dalam kawasan hutan kemasyarakatan adalah rayap tanah ( Mactotermes gilvus hagen ), kupu-kupu kuning (Eurema spp ) dan boktor (Xystrocera festiva).
Text Box: Gambar 1. Ulat BoktorText Box: Hama Boktor (Xystrocera festiva) termasuk ordo coleoptera family cerambyceae.  Pada saat penelitian ditemukan bekas gerekan yang menyebabkan luka pada batang. Pada celah batang ditemukan telur boktor yang sudah berlubang – lubang karena telur sudah menetas. Sejak larva keluar dari telur yang baru beberapa saat menetas, larva sudah merasa lapar dan segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan kulit batang di sekitar lokasi dimana larva berada. Bahan makanan yang disukai larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (Xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (Floem). Adanya serbuk gerek halus yang menempel pada permukaan kulit batang merupakan petunjuk terjadinya gejala serangan awal.
Gambar 2. Kupu Kuning
 
Text Box: Kupu kuning (Eurema blanda) termasuk Famili Pieridae dan ordo Lepidoptera, seluruh tubuhnya berwarna kuning, pada pinggir-pinggir sayapnya terdapat warna hitam. Kupu kuning aktif pada siang hari dan meletakkan telurnya pada permukaan atas daun sengon yang diletakkan. secara berkelompok. Pada saat penelitian ditemukan larva yang baru keluar dari telur (instar 1). Larva yang ditemukan terlihat memakan daun muda sengon  hingga gundul dalam waktu yang sangat singkat sedangkan instar pupa tidak ditemukan. Biasanya pupa yang baru terbentuk berwarna hijau kehitaman dan lama kelamaan berubah warna menjadi kuning (Husaeni, 2002).
Text Box: Gambar 3. Mactotermes gilvus HagenText Box: Gejala serangan rayap tanah (Mactotermes gilvus Hagen) pada tegakan Sengon dalam kawasan mempunyai ciri khas karena mudah dilihat pada permukaan batang . Pada saat penelitian terlihat adanya penumpukan tanah yang dimulai dari pangkal batang sampai ketinggian 0,5 m sampai 4 m. Jumlah telur Macrotermes dapat mencapai ± 36.000 sehari yang berupa butiran-butiran lepas dan berkelompok dengan panjang badan laron mencapai 2 cm dengan panjang sayap 9 cm.
Text Box: Apabila tanaman dibongkar maka akan tampak jelas serangan rayap dimulai dari akar, pangkal batang terus ke batang. Lapisan tanah yang ada di permukaan batang merupakan saluran penghubung dengan sarangnya yang jauh di dalam tanah. Di dalam lapisan tanah ditemukan ditemukan rayap prajurit dan pekerja, rayap Text Box: Gambar 4. Gejala serangan Rayap Tanahpekerja inilah yang melakukan penggerekan pada batang. Rayap jenis ini akan memakan semua  bahan berselulosa pada pohon.
3.2.Intensitas Kerusakan Tanaman Dan Luas Serangan
Intensitas kerusakan pada tanaman Sengon laut (Paraserianthes falcarataria Nielson) akibat serangan ketiga jenis hama masing – masing rayap tanah, boktor dan kupu kuning dapat di lihat pada tabel 3 dibawah ini.


  
Tabel 3. Intensitas Serangan Dan Luas Serangan pada tanaman Sengon laut (Paraserianthes falcarataria Nielson) Akibat Serangan Rayap, Boktor Dan Kupu Kuning ( % )

Jenis Hama
Intensitas  serangan
( % )
Kriteria Serangan
Luas
Serangan
( %)
Kriteria Serangan
Rayap Tanah
30, 4
Sedang
26, 2
Sedang
Boktor
10,2
Ringan
4,9
Ringan
Kupu Kuning
7 ,8
Ringan
3,2
Ringan

Perbedaan intensitas kerusakan dan luas serangan akibat serangan ketiga jenis hama dalam kawasan hutan kemasyarakatan  dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
a. Kultur Teknis
Tindakan pemeliharaan tanaman yang meliputi pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penyiangan terhadap gulma atau tanaman-tanaman penggangu lainnya tidak pernah dilakukan dalam kawasan hutan akibatnya ketahanan tanaman menurun ketika diserang oleh hama. Disamping itu karena tidak pernah dilakukannya tindakan pengendalian hama maka berakibat penyebaran hama semakin meluas sehingga banyak tanaman yang terserang meskipun maish berada dalam kategori ringan. Penyiangan terhadap gulma tidak pernah dilakukan sehingga terjadi kompetisi antara gulma dan tanaman dalam hal unsur hara, CO2 dan air akibatnya pertumbuhan tanaman mengalami gangguan sehingga mudah sekali terserang hama..
b.      Iklim
Faktor iklim yang meliputi suhu,kelembaban dan kecepatan angin turut menunjang pertumbuhan tanaman maupun perkembangan hama. Setiap jenis hama memiliki interval suhu masing-masing untuk hidup dan berkembang biak. Suhu yang efektif bagi perkembangan hama yakni suhu minimum 15oC, suhu optimum 25oC-26oC, suhu maksimum 45oC (Natawigena,1990). Luas serangan rayap tanah lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas serangan hama lainnya. Hal inididuga karena ketersediaan bahan makanan dan kondisi lingkungan yang cocok bagi perkembangan rayap serta pengaruh faktor – faktor iklim yang turut mendukung. 
c. Tanaman Jenis Lain Sebagai Tanaman Inang
Beberapa jenis tanaman hutan lain  yang tumbuh dalam hutan diduga dapat berperan sebagai tanaman inang bagi ketiga jenis hama yang menyerang Sengon yakni : Jambu Mete (Anacardium ocidentale), Ketapang (Terminalia catapa), Akasia (Acaccia decurens), Lamtoro (Leucaena glauca) dan Nani  (Metrosideros vera). Kehadiran tanaman-tanaman hutan ini diduga dapat berfungsi sebagai inang lain atau sumber makanan lain bagi keberadaan dan penyebaran ketiga jenis hama dalam kawasan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan yakni :
1.      Hama yang menyebabkan kerusakan pada Sengon laut (Paraserianthes. falcarataria Nielson) di areal Hutan kemasyarakatan Kairatu adalah penggerek batang yakni rayap      (Mactotermes gilvus Hagen ) dan hama pemakan daun yakni hama Boktor (Xystrocera festiva) dan Kupu Kuning ( Eurema spp)
2.      Intensitas kerusakan tertinggi pada tanaman sengon laut laut (P. falcarataria Nielson) disebabkan oleh serangan hama rayap sebesar 30,4 % yang tergolong kriteria sedang, diikuti oleh boktor sebesar 10,2 % tergolong kriteria  ringan dan Kupu Kuning sebesar 7,8 % yang tergolong kriteria ringan
3.      Luas serangan tertinggi pada tanaman sengon laut laut (P. falcarataria Nielson) disebabkan oleh serangan hama rayap sebesar 26,2  % yang tergolong kriteria sedang, diikuti oleh boktor sebesar 4,9  % tergolong kriteria  ringan dan Kupu Kuning sebesar 3,2  % yang tergolong kriteria ringan
4.2.            Saran – Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah :
1.                  Untuk mencegah semakin meluasnya serangan perlu dilakukan tindakan pengendalian, dan kultur teknis seperti penyiangan gulma di sekitar pangkal batang batang tanaman, guna mengurangi kelembaban mikro dan kompetisi dengan tanaman tersebut dan pemupukan.
2.                  Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk mengetahui insektisida sistemik  yang efektif guna pengendalian hama agar fungsinya sebagai tanaman pengijauan guna pelestarian alam dapat diwujudkan sebaik-baiknya.
3.                  Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai hama-hama lain yang dapat menyerang tanaman Sengon laut (P. falcarataria Nielson) dalam kawasan pada musim lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian Direkrorat jendral Kehutanan. Jakarta
Anonimous, 1990. Teknik Pembuatan Tanaman. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Reboisasi Dan Rehabilitasi Lahan. Direktorat Hutan Tanaamn Industri.
Atmosuseno. S. 1995. Kayu Komersial. Penerbit Penebus Swadaya
Boror. Triplehorn. Johnson, 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press
Setiawan. I., 1996 Penghijauan Lahan Kritis. Penerbit Penebar Swadaya. Surabaya
Suratomo. F.G., 1976. Ilmu Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor.
Sunjaya. P.I 1970. Dasar-dasar Ekologi Serangga.