kesehatan hutan

Selasa, 18 Mei 2010

Saatnya Ambon Miliki Hutan Kota Yang Representatif

Saatnya Ambon Miliki Hutan Kota Yang Representatif


F.S.Latumahina.S.Hut.MP) 1,2

1) Staf Pengajar Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Unpatti Ambon
2) Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kehutanan Univ Gajah Mada Yogyakarta
Email. Sin_latumahina@yahoo.com

1. Pendahuluan

Keberadaan kawasan hutan kota bagi suatu daerah sebetulnya merupakan kebutuhan utama dan terutama mutlak harus dipenuhi guna menjaga kwalitas lingkungan dimana kota tersebut berada. Di beberapa kota di Indonesia hutan kota sudah ditemukan bahkan pemerintah setempat memberikan porsi khusus dalam anggaran belanja kota untuk menjaga kwantitas maupun kwalitas hutan kota dimaksud. Namun tidak sedikit juga kota – kota di Indonesia yang tidak memiliki sama skali hutan kota, bahkan yang terlihat adalah hutan beton, dimana pemerintah setempat lebih mementingkan membangun pusat – pusat perekonomian maupun pemukiman bagi warga kotanya.
Menyikapi perubahan iklim global yang akhir – akhir mulai terasa dampaknya di beberapa kota di tanah air dengan munculnya kejadian – kejadian yang telah memakan korban harta benda maupun nyawa manusia, antara lain banjir bandang, erosi, tanah longsor, badai, hujan deras hingga kemarau berkepanjangan. Terhadap persoalan yang muncul pada beberapa kota di tanah air, maka sudah saatnya kota – kota yang sementara masih bebas dari ancaman goncangan alam bersiaga penuh dan mencari tindakan pencegahan agar kejadian – kejadian alam tidak sampai terjadi di kota – kota bebas ancaman tadi. Kota Ambon sebagai salah satu kota di Indonesia yang juga masih memiliki tutupan hutan berupa pepohonan pada beberapa wilayah yang tersebar dalam kawasan kota, sudah saatnya juga mengembangkan hutan kota secara parmanen sebagai salah satu jalur hijau yang akan memberikan banyak fungsi bagi kota Ambon itu sendiri maupun bagi masyarakat didalamnya.

2. Bentuk Hutan Kota Yang Dapat Dikembangkan Di Kota Ambon

Beberapa bentuk hutan kota yang dapat coba dikembangkan di wilayah Kota Ambon yakni :
• Jalur Hijau

Pohon peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi sungai di dalam kota atau di luar kota dapat dibangun dan dikembangkan sebagai hutan kota guna diperoleh manfaat kualitas lingkungan perkotaan yang baik. Tanaman yang ditanam pada daerah di bawah jalur kawat listrik dan telepon diusahakan cukup rendah, atau dapat dikembangkan dengan tanaman yang menjulang tinggi, namun pada batas ketinggian tertentu harus diberikan pemangkasan. Kawasan riparian seperti : delta sungai, kanal, saluran irigasi, tepian danau dan tepi pantai dapat merupakan bagian lokasi dari kegiatan pengembangan hutan kota. Penanaman tanaman di kawasan ini diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas air serta untuk memperkecil erosi. Seperti telah disebutkan di atas, jalur hijau di tepi jalan bebas hambatan yang terdiri dari jalur tanaman pisang dan jalur tanaman yang merambat serta tanaman perdu yang liat yang ditanam secara berlapis-lapis diharapkan dapat berfungsi sebagai penyelamat bagi kendaraan yang keluar dari badan jalan. Sedangkan pada bagian yang lebih luar lagi dapat ditanami dengan tanaman yang tinggi dan rindang untuk menyerap pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor.

• Taman Kota
Taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah. Setiap jenis tanaman mempunyai karakteristik tersendiri baik menurut bentuk, warna dan teksturnya. Ada pohon yang bentuk tajuknya kecil tinggi dan lurus (cemara lilin), tajuk pohon berbentuk piramida (cemara) dan ada juga yang bentuk tajuknya besar, bulat dan rindang (beringin). Tekstur daun dapat pula dijadikan bahan pertimbangan dalam suatu komposisi taman. Ada daun dengan tekstur yang kasar (Ficus elastica), tekstur sedang (duren) dan ada yang halus (lamtoro). Bentuk percabangan juga dapat dijadikan sebagai komponen dari suatu komposisi. Ada beberapa bentuk percabangan seperti : mendatar, menyudut (acute), menjumbai (weeping) dan tegak.
• Kebun dan Halaman
Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah seperti : mangga, durian, sawo, rambutan, jambu, pala, jeruk, delima, kelapa dan lain-lain serta dari jenis yang tidak diharapkan hasil buahnya seperti : cemara, palem, pakis, filisium dan beberapa jenis lainnya. Halaman rumah dapat memberikan prestise tertentu. Oleh sebab itu halaman rumah ditata apik sedemikian rupa untuk mendapatkan citra, kebanggaan dan keindahan tertentu bagi yang empunya rumah maupun orang lain yang memandang dan menikmatinya. Maka halaman tidak hanya ditanam dengan tanaman seperti tersebut di atas, namun dilengkapi juga dengan tanaman bebungaan yang indah. Tanaman lainnya yang dapat dijumpai adalah : sayuran, empon-empon dan tanaman apotik hidup lainnya. Pada halaman rumah pun dapat dijumpai unggas, ikan dan hewan lainnya. Menurut Soemarwoto (1983) tanaman halaman rumah mempunyai fungsi integrasi antara fungsi alam hutan dengan fungsi sosial-budaya-ekonomi masyarakat.

• Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang

Kebun raya, hutan raya dan kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota. Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain, baik dari daerah lain di dalam negeri maupun di luar negeri.Soemarwoto (1983) berpendapat, kebun raya ada yang bersifat ekonomi dan yang bertujuan utama untuk ilmiah.
• Hutan Lindung

Mintakat kota ke lima yaitu darah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut, hendaknya dijadikan hutan lindung.

• Kuburan dan Taman Makam Pahlawan

Pada tempat pemakaman banyak ditanam pepohonan. Nampaknya sebagai manifestasi kecintaan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal tak akan pernah berhenti, selama pohon tersebut masih tegak berdiri. Personifikasi ini nampaknya menyatakan bahwa dengan melalui tanaman dapat digambarkan bahwa kehidupan tidaklah berakhir dengan kematian, namun kematian adalah awal dari kehidupan

3. Fungsi Dan Peranan Hutan Kota

Fungsi dan peranan dari hutan kota bagi masyarakat Kota Ambon adalah : 


Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.
Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.

Peredam Kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978). dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978).Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

Penyerap Dan Penapis Bau


Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain : Cempaka (Michelia champaka) dan tanjung (Mimusop elengi).


Pengelolaan Sampah


Hutan kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal : (1) sebagai penyekat bau (2) sebagai penyerap bau (3) sebagai pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah (4) sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya.

Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik. Benda-benda buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, warna dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia. Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik.


Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang nuansa (bergradasi lembut). Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti : tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya hutan kota sebagai tabir penyekat di sana.

Mengurangi Stress

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Petugas lalu lintas sering bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monoksida (Soemarwoto, 1985). Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.

Program pembangunan dan pengembangan hutan kota dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai hutan kota. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. Hutan kota juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.

4. PENUTUP

Masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah : (1) dukungan dari penentu kebijakan, (2) dukungan finansial, (3) dukungan masyarakat, dan (4) tenaga ahli. Oleh karena itu untuk memperoleh keberhasilan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia dukungan-dukungan seperti yang telah disebutkan di atas perlu disempurnakan secara sungguh-sungguh. Ilmu hutan kota merupakan suatu disiplin ilmu yang relatif baru, namun sangat perlu dan segera harus dikembangkan, karena mempunyai keuntungan antara lain. Melalui penyuluhan hutan kota kepada masyarakat dapat disampaikan tentang pentingnya menciptakan lingkungan hidup di perkotaan yang sehat, indah, bersih, nyaman dan alami, sehingga dapat dijadikan sebagai komponen pelengkap dalam mewujudkan kemajuan, ketahanan dan masa depan bangsa Indonesia. Usaha penataan kota seperti yang telah dilakukan oleh beberapa kota seperti : Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya diharapkan akan berjalan lebih pesat lagi dan dapat diikuti dengan beberapa kota lainnya.

Serangga di sekitar KIta

A. Pendahuluan
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata. Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku.
Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya maupun pada pohon – pohon hutan yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida. Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah.
Walaupun demikian sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
B. Identifikasi Dan Klasifikasi Serangga
Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang menjadi hama pohon hutan perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah, batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara penanganannya. Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang. Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut taksonomi (Taxonomy).
Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau. Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon (kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb. Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi. Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan. Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar. Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen serangga yang berlapis. Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan.
Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama. Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel). Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan dikemas sebagai insektisida Thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida. Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.
C. Reproduksi Serangga
Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun). Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi sasaran makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur menetas.
Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur – larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa. Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa, biasanya pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang sama.
Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva bisanya sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang mencari serbuk bunga sebagai makanannya.Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang “tidak aktif” (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium yang berfungsi sebagai pelindung. Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin. Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur tumbuh (Insect Growth Regulators, IGR).
Salah satunya adalah pengendalian dengan hormon pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran) karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu, sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.
D. Ekologi Dan Populasi Serangga
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut (phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan pengendaliannya. Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim (univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine). Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan laju kematian. Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus) di Baluran, populasi rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan, Bogor dan seterusnya. Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra) populasi, serta efek populasi terhadap lingkungan. Populasi adalah sekelompok individu dari suatu spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-spesies yang berbeda. Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool).
Spesies adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang sama. Tingkatan organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari berbagai spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun adalah bioma (biome). Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).
E. Jaring Makanan, Rantai Makanan Dan Hubungan Trofik
Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial untuk kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan.
Pola hubungan aras trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi sangat kompleks. Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof) adalah tumbuhan (termasuk beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen. Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau adalah karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat karnivora.
Sebagaimana halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan karnivora dapat dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga biasanya berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag (memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada musim panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (Yang mengalami metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu menghindar dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies). Sifat adaptasi ini menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga holometabola, yang mencakup 85 persen dari seluruh spesies serangga. Sisanya (15 persen) adalah serangga hemimetabola yang pada stadium dewasa dan pradewasa memiliki morfologi dan perilaku makan yang sangat mirip satu dengan yang lain. Studi populasi bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam studi ini acapkali dipergunakan model untuk menjelaskan sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif. Model adalah simplifikasi dari suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Untuk menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada lamtoro (Leucaena spp.) misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah lagi karena menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan di bawah normal. Dengan curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan kutu akan berkurang, pemangsa kutu loncat (Curinus coeruleus) akan menurun populasinya dan mungkin akan kesulitan memperoleh mangsa yang lain.
Dengan berkurangnya predator, kemungkinan pada musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik. Turun naiknya populasi kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua tahunan sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi). Dasar-dasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor curah hujan dan pemangsanya.
Untuk mendapatkan model yang lebih baik, wawasan kajian perlu diperluas dengan memasukkan faktor-faktor lain seperti informasi mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi terhadap pertumbuhan lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit, parasitoid), kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat genetik dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya tergantung pada curah hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu diketahui kemudian dicari besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang lain yang juga mungkin merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek yang kita kaji. Penelitian ekologi populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan seperti bagaimana perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati A ? Bagaimana nasib hutan hujan tropik Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita dalam memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas masalah-masalah seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif tetapi ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan, fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpan-balikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil yang lebih tajam.

EKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI HAMA TUSAM (Pinus merkussi Jung Et De Vriese ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA KOTA AMBON

EKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI HAMA TUSAM (Pinus merkussi Jung Et De Vriese ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA KOTA AMBON


Oleh :

Fransina S. Latumahina
Mahasiswa Program Doktor pada Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta (Dosen Fak. Pertanian Universitas Pattimura Ambon)


ABSTRAK

Di Dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon terdapat tanaman tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese) yang cukup luas dan merupakan salah satu jenis prioritas yang sedang dikembangkan untuk tujuan reboisasi demi mempertahankan fungsi konservasi kawasan. Hasil pemantauan terhadap komunitas tusam dalam kawasan tersebut ditemukan adanya serangan hama, yang di dikhawatirkan akan menganggu kwantitas maupun kwalitas dari pohon tusam, yang pada gilirannya juga akan berimbas pada keberadaan dan fungsi kawasan secara menyeluruh. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-jenis hama yang menyerang tanaman tusam tersebut serta persentase serangannya. Data ini sebagai dasar untuk menentukan pengendalian hama pada tusam di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon berbasis lingkungan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis hama yang menyerang tusam adalah siput daun dengan persentase serangan mencapai 29,96% dan intensitas serangan 20,78% (kriteria ringan) , ulat api coklat (Thosea sp.) persentase serangan mencapai 38,13% dan intensitas serangan 30,38% (kriteria sedang) , hama penggerek batang/ akar kupu coklat (Papilio sp.) persentase serangan mencapai 37,90% dan intensitas serangan 29,04% (kriteria sedang), rayap tanah (Mactotermes gilvus Hagen) persentase serangannya mencapai 60,53% dan intensitas serangan 68% (kriteria berat).


Kata kunci : Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon, hama, tusam











I. PENDAHULUAN

Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon dengan luasan 877, 78 hektar mempunyai fungsi dan peran yang cukup besar bagi masyarakat Kota Ambon ( pengatur tata air, pencegah banjir dan pencegah erosi). Dalam kawasan Hutan Lindung tersebut berisi vegetasi hutan yang sangat bervariasi, akan tetapi ditemukan komunitas pohon Tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese) yang cukup luas dan merupakan salah satu jenis prioritas yang sedang dikembangkan dalam kawasan Hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tanaman pinus ternyata terserang hama, yang dikhawatirkan akan ikut menganggu kwantitas maupun kwalitas dari pohon tusam yang pada gilirannya juga akan berimbas pada keberadaan dan fungsi kawasan secara menyeluruh. Sebenarnya hama atau diidentikan dengan serangga mempunyai peranan yang sangat penting dalam jaring makanan, akan tetapi bila populasi serangga tersebut meningkat maka akan merugikan.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang mendetail untuk mengetahui jenis hama dan intensitas kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman tusam serta akibat yang ditimbulkannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis hama yang menyerang tanaman tusam, persentase serangan dan persentase kerusakan yang diakibatkannya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian lapangan di kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon, pada bulan Juli hingga September 2008 dan dilanjutkan penelitian di Laboratorium Biologi Dasar Fakultas KIP Universitas Pattimura Ambon pada bulan Oktober 2008 hingga November 2008. Hutan Lindung Gunung Nona tergolong iklim tipe B (Bulan Basah) dengan curah hujan pertahun sebesar 2,8396 mm dengan rata – rata hujan pertahun adalah 187,90 hari. Suhu udara makro di Kota Ambon mencapai 26,5 oC dan suhu mikro dalam kawasan 25, 5 oC dengan kelembaban mikro 75 %. Kondisi lahan dalam areal hutan lindung Gunung Nona adalah bergelombang hingga curam dengan kelerengan 8 hingga > 45 % dengan jenis tanahnya adalah batuan beku ( granit, kuarsa, peridotit ) dan batuan sedimen ( batu pasir dan koral).

B. Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pohon tusam, kertas tissue, kertas saring, kertas label., alkohol 70%, formalin 4%, kloroform, eter dan serangga yang menyerang tusam. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain jaring serangga, botol koleksi, kotak plastik, gunting stek, pisau, kertas amplop/papilot, altimeter, termometer, mikroskop dan kamera.
C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survei pada areal seluas 87 ha ( Sampel 10 % dari total luas area ) dan dibuat jalur – jalur pengamatan dengan ukuran 100 meter x 10 meter dimana pada tiap jalurnya diambil 10 pohon sebagai sampel dan dilakukan pengamatan terhadap akar, batang dan daun. Data diperoleh melalui pengamatan secara visual, selain hal tersebut diatas juga dilakukan :
- Pengambilan Data sekunder meliputi keadaan curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang diperoleh dari stasiun meteorologi Kota Ambon.
- Pengamatan gejala dan akibat serangan hama pada tusam.
- Untuk menghitung luas serangan akibat hama digunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Natawigena (1982) dalam Sugiharso (1988)
a
P = x 100 %
b
Dimana : P = Luas serangan
a = Banyaknya tanaman contoh yang diserang
b = Banyaknya tanaman contoh yang diamati

- Menghitung intensitas kerusakan daun akibat serangan hama digunakan pendekatan intensitas kerusakan hama yang dikemukakan oleh Natawigena (1982) dalam Sugiharso (1988)
∑ (n x v)
IS = x 100 %
Z x N

Dimana : IS = Intensitas kerusakan
n = Jumlah daun pertanaman dari tiap kategori
v = Nilai skala dari tiap kategori
Z = Nilai skala yang ditetapkan tertinggi
N = Banyaknya daun pertanaman yang diamati
Besarnya nilai intensitas kerusakan dan luas serangan didasarkan pada kriteria serangan yang dapat dilihat pada Tabel di bawah ini,

Tabel 1. Kriteria penentuan nilai skala untuk setiap kategori serangan

Nilai Skala Presentase Kriteria
0 0 Normal
1 > 0-25 Ringan
2 > 25-50 Sedang
3 > 50-75 Berat
4 > 75 Sangat Berat
Sumber : Natawigena (1982) dalam Sugiharso (1988).

- Identifikasi hama menggunakan kunci identifikasi Anonimous, 1991; Borror et al , 1992; Kalshoven, 1981; Capinera, 2001.






IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil eksplorasi dan identifikasi diketahui ada beberapa jenis hama yang menyerang tusam di kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon yaitu,

1. Siput daun
Hama ini mudah dikenali karena mempunyai tubuh lunak yang berada dalam cangkang, tidak beruas, mempunyai dua antena dan tubuhnya mengeluarkan lendir. Siput daun tusam ukuran kecil berwarna coklat tua. Semua kelompok siput masuk dalam kelas Gastropoda, termasuk juga siput yang menyerang daun tusam. Umumnya hidup di daerah yang mempunyai kelembaban tinggi, bahan organik menjadi makanannnya (sampah-sampah), selain bahan organik yang telah busuk juga makan organik yang masih hidup seperti tanaman. Siput menyerang daun tusam muda dan dimakannya, tetapi apabila daun tusam tua maka tidak tuntas termakan atau hanya mengisap cairannya, akibatnya daun tusam terpotong-potong dan berwarna kuning kecoklat-coklatan dan layu, akhirnya daun kering. Akibat yang lebih fatal adalah apabila populasi siput meningkat seluruh daun tusam kering, tentunya hal ini mengakibatkan proses fotosintesa terhambat. Apabila tanaman tusam yang terserang maka dapat mengakibatkan kematian.

2. Ulat api coklat (Thosea sp)
Ulat api coklat digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera, famili Limacodidae. Hama ini menyerang pucuk daun tusam akibatnya sebagian pucuk daun akan dimakan habis dan daun rontok secara perlahan – lahan dan yang tertinggal hanya cabang – cabang pohon. Pada saat penelitian ditemukan hama ini berada pada stadia larva. Larva memiliki bulu – bulu berwara coklat kehitaman di sepanjang tubuhnya dengan panjang antara 15 – 18 mm dan apabila tersentuh kulit tubuh manusia akan terasa menyengat seperti kena api. Panjang tubuh larva 4,5 cm – 5 cm dan lebar 8 – 9 mm berbentuk bulat panjang, mempunyai torak yang kecil. Larva memiliki tipe mulut menggigit- mengunyah



3. Kupu coklat/penggerek batang (Papilio sp)

Kupu coklat digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera, famili Papilionidae. Pada saat penelitian yang ditemukan adalah sejumlah kepompong yang melekat pada dedaunan pohon tusam. Kepompong berwarna coklat kehitaman dengan garis – garis putih yang melingkar sepanjang kepompong dengan panjang rumah kepompong mencapai 5,5 cm dan diameter 1,5 cm. Gejala serangan kupu coklat yakni sebagian daun tusam yang sudah tua akan dimakan sehingga bagian yang tertinggal akan menjadi layu, berwarna kuning dan lama-kelamaan daun gugur.

4. Rayap tanah (Macrotermes gilvus Hagen)

Gejala serangan rayap tanah pada tegakan tusam mempunyai ciri yang khas, mudah dilihat karena pada permukaan batang ada penumpukan tanah. Lapisan tanah dimulai dari pangkal batang sampai ketinggian 0,5 m sampai 4 m. Apabila tanaman dibongkar maka akan tampak jelas serangan rayap dimulai dari akar, pangkal batang terus ke batang. Lapisan tanah yang ada dipermukaan batang merupakan saluran penghubung dengan sarangnya yang jauh di dalam tanah. Di dalam lapisan tanah ditemukan ditemukan rayap prajurit dan pekerja, rayap pekerja inilah yang melakukan penggerekan pada batang.
Hasil pengamatan dan identifikasi di laboratorium, rayap yang menyerang tusam adalah rayap tanah jenis Macrotermes gilvus Hagen masuk ke dalam famili Termitidae dan ordo Isoptera. Semua rayap makan bahan berselulosa termasuk pohon, tetapi perilaku makan (feeding behavior) jenis-jenis rayap bermacam-macam. Dalam kehidupannya rayap merupakan serangga sosial yang membentuk koloni, bersifat polimorfisme yaitu dalam kelompok terdapat beberapa bentuk tubuh yang berbeda, masing-masing bentuk mempunyai tugas tertentu. Sehingga satu koloni rayap yang berjumlah besar terdiri dari kasta reproduktif, kasta prajurit dan kasta pekerja. Kasta reproduktif terdiri atas individu individu seksual yaitu betina (yang abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Jika koloni rayap masih relatif muda biasanya kasta reproduktif berukuran besar sehingga disebut ratu. Biasanya ratu dan raja adalah individu pertama pendiri koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan bersama sejak penerbangan alata. Pasangan ini disebut reprodukif primer. Jika mereka mati bukan berarti koloni rayap akan berhenti bertumbuh. Koloni akan membentuk ”ratu” atau ”raja” baru dari individu lain (biasanya dari kasta pekerja) tetapi ukuran abdomen ratu baru tak akan sangat membesar seperti ratu asli. Ratu dan raja baru ini disebut reproduktif suplementer atau neoten (Tarumingkeng, 2004).

Persentase serangan dan Intensitas kerusakan
Persentase serangan akibat serangan hama pada tusam di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon adalah siput daun ( 29,96% ), ulat api coklat ( 38,13% ), kupu coklat (37, 9% ) dan rayap tanah ( 60,53% ) sedangkan intensitas serangan yang ditimbulkan hama siput sebesar 20,78% tergolong kriteria ringan, ulat api coklat sebesar 30,38% tergolong kriteria sedang, kupu coklat daun tusam sebesar 29,04% tergolong kriteria sedang dan rayap tanah 68% tergolong kriteria berat.

IV. KESIMPULAN

1. Tusam yang berada di kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon terserang oleh empat jenis hama yaitu siput daun, ulat api coklat (Thosea sp), kupu coklat (Papilio sp), dan rayap tanah ( Macrotermes gilvus Hagen).
2. Persentase serangan akibat serangan hama pada tusam di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon adalah siput daun ( 29,96% ), ulat api coklat ( 38,13% ), kupu coklat (37, 9% ) dan rayap tanah ( 60,53% ) sedangkan intensitas serangan yang ditimbulkan hama siput sebesar 20,78% tergolong kriteria ringan, ulat api coklat sebesar 30,38% tergolong kriteria sedang, kupu coklat tusam sebesar 29,04% tergolong kriteria sedang dan rayap tanah 68% tergolong kriteria berat.





DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Kanisius.Jogjakarta

Capinera, J.L. 2001. Handbook of Vegetable Pests. Academic Press. USA.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pe4st of Crops In Indonesia. P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.

Borror, D J., C.A.Triplehorn, and NF. Johnson. 1992. An Introduction To The Study Of Insect (Pengenalan Pelajaran Serangga – Penerjemah drh. Soetiyono Partosoedjono, MSc. Dan Prof Dr. Mukayat Djarubito Brotowidjoyo, MSc.). Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Sugiharso, S. 1988. Dasar Perlindungan Tanaman. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta IPB. Bogor.

Tarumingkeng, R.C., 1971 (2004). Biologi dan pengenalan rayap perusak kayu di Indonesia. Laporan no. 138. Lembaga Penenlitian Hasil Hutan. Bpgpr.

















EKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI HAMA PADA TANAMAN TUSAM ( Pinus merkussi Jung Et De Vriese )

Serangan Hama Pada Tanaman Tusam
Di Areal Hutan Lindung
Gunung Nona Kota Ambon

Fransina.S.Latumahina.S.Hut.MP) 1,2
Email : sin_ latumahina@yahoo.com

1) Staf Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
2) Mahasiswa program doktor Pada Fakultas Kehutanan UGM Jogyakarta


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung mutlak dilakukan dalam rangka mempertahankan fungsi dan peran hutan lindung sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, pencegah erosi serta pemelihara kesuburan tanah dengan mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh faKtor alam maupun manusia. Hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon dengan luasan 877, 78 ha memiliki fungsi dan peran yang cukup besar bagi masyarakat Kota Ambon, nmaun dalam kurun waktu tiga tahun belakangan kawsaan ini mengalami goncangan akibat serangan hama maupun penyakit dalam kawasan. Serangan hama mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan pohon bahkan dapat mengakibatkan kematian pohon akibatnya kwalitas dan kwantitas hasil hutan akan mengalami penurunan dan pada gilirannya berimbas pada fungsi dan peran hutan lindung.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir keberadaan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon mengalami kerusakan yang semakin meningkat akibat serangan hama, penyakit, gulma, kebakaran maupun karena aktivitas manusia dengan pengambilan kayu maupun pembukaan areal untuk pemukiman dan pertanian secara berlebihan didalam dan sekitar kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon.
Dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon ditemukan komunitas pohon Tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese) yang cukup luas dan merupakan salah satu jenis prioritas yang sedang dikembangkan dalam kawasan terutama untuk tujuan reboisasi demi mempertahankan fungsi konservasi kawasan. Hasil pemantauan terhadap komunitas pohon Tusam dalam kawasan ditemukan adanya gejala – gejala serangan hama sehingga dikwatirkan akan ikut menganggu kwantitas maupun kwantitas dari pohon Tusam yang pada gilirannya juga akan berimbas pada keberadaan dan fungsi kawasan secara menyeluruh.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang mendetail untuk mengetahui jenis hama dan intensitas kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman Tusam akibat serangan hama dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon sehingga dapat ditentukan pola pencegahan maupun pengendalian yang tepat secara efektif dan efisien.









1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui jenis-jenis hama yang menyebabkan penurunan kualitas tegakan pada tanaman Tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese).
2) Menentukan intensitas kerusakan pada tanaman Tusam ( Pinus merkusii Jung et de Vriese) dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon


II. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian lapangan di kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon seluas 877, 78 ha pada bulan Juli hingga September 2008 dan dilanjutkan dengan penelitian laboratorium pada Laboratorium Biologi Dasar Fakultas KIP Universitas Pattimura Ambon pada bulan Oktober 2008 hingga November 2008.
Hutan Lindung Gunung Nona tergolong iklim tipe B (Bulan Basah) dengan curah hujan pertahun sebesar 2,8396 mm dengan rata – rata hujan pertahun adalah 187,90 hari. Suhu udara makro di Kota Ambon mencapai 26,5 oC dan suhu mikro dalam kawasan 25, 5 oC dengan kelembaban mikro 75 %. Kondisi lahan dalam areal hutan lindung Gunung Nona adalah bergelombang hingga curam dengan kelerengan 8 hingga > 45 % dengan jenis tanahnya adalah batuan beku ( granit, kuarsa, peridotit ) dan batuan sedimen ( Batu Pasir dan Koral)

.


2.2. Alat Dan Bahan
2.2.1. Peralatan
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : teropong, kompas, lup (kaca pembesar), mikroskop, kamera digital , kantong plastik, pisau, tali arafia, parang, botol hama, altimeter, termometer.
2.2.2. Bahan
Yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian ini adalah hama-hama pada tanaman Tusam dengan bahan yang dipakai adalah Alkohol 70 %.
2.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei pada areal seluas 87 Ha ( Sampel 10 % dari total luas area ) dan dibuat jalur – jalur pengamatan dengan ukuran 100 meter x 10 meter dimana pada tiap jalurnya diambil 10 pohon sebagai sampel dan dilakukan pengamatan terhadap akar, batang dan daun.
2.4. Pelaksanaan Penelitian
2.4.1. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilaksanakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder pengumpulan data. Data primer diperoleh dengan cara melaksanakan penelitian langsung ke lapangan untuk melihat hama dan intensitas kerusakan yang ditimbulkan serta sistem kultur teknis pada areal hutan lindung antara lain sanitasi, pemupukan, pengendalian hama, dan jarak tanam. Data sekunder meliputi keadaan curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang diperoleh dari stasiun meteorologi Kota Ambon. Untuk menghitung intensitas kerusakan daun akibat serangan hama digunakan pendekatan intensitas kerusakan hama yang dikemukakan oleh Natawigena (1982) dalam Sugiharso (1988)
∑ (n x v)
P = x 100 %
Z x N

Dimana : P = Intensitas kerusakan
n = Jumlah daun pertanaman dari tiap kategori
v = Nilai skala dari tiap kategori
Z = Nilai skala yang ditetapkan tertinggi
N = Banyaknya daun pertanaman yang diamati
Untuk menghitung intensitas kerusakan mutlak pada tanaman akibat serangan setiap jenis hama digunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Natawigena (1982)
a
P = x 100 %
b

Dimana : P = Intensitas kerusakan
a = Jumlah tanaman yang terserang
b = Jumlah tanaman yang diamati
Besarnya nilai intensitas kerusakan dan luas serangan didasarkan pada kriteria serangan yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 1. Kriteria Penentuan Nilai Skala untuk Setiap Kategori Serangan

Nilai Skala Presentase Kriteria
0 0 Normal
1 > 0-25 Ringan
2 > 25-50 Sedang
3 > 50-75 Berat
4 > 75 Sangat Berat
Sumber : Natawigena, 1982 dalam Sugiharso, 1988.
Untuk menghitung luas serangan akibat serangan setiap jenis hama digunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Natawigena (1982) :
a
P = x 100 %
b

Dimana : P = Luas serangan
a = Banyaknya tanaman contoh yang diserang
b = Banyaknya tanaman contoh yang diamati
Untuk mengetahui kategori serangan maka didasarkan pada kriteria penentuan kategori serangan yang terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Penentuan Kategori Serangan
Nilai Skala Presentase Kerusakan Kriteria
0 0 Normal
1 > 0-25 Ringan
2 > 25-50 Sedang
3 > 50-75 Berat
4 > 75 Sangat Berat
Sumber : Natawigena, 1982 dalam Sugiharso, 1988.
3.4.2. Penelitian Laboratorium

Penelitian laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi jenis hama yang ditemukan hingga tingkat spesies dengan menggunakan kunci determinasi serangga dari Borror, dkk (1992) .



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Hama
Berdasarkan hasil penelitian maka jenis hama yang ditemukan adalah hama pemakan daun yaitu Siput Daun Tusam (Mollusca sp), Ulat Api Coklat (Thosea sp) dan hama penngerek batang dan akaar yakni Kupu-kupu coklat Tusam (Papilio sp) dan Rayap Tanah (Mactotermes gilvus hagen).
4.1.1. Siput Daun Tusam (Mollusca sp)
Siput Daun Tusam digolongkan kedalam ordo Mollusca. Hasil pengamatan menunjukan bahwa jenis ini mengkonsumsi cairan yang ada di pucuk tanaman Tusam akibatnya daun menjadi layu, berwarna kuning kecoklatan, dan kemudian menjadi kering.
4.1. 2 Ulat Api Coklat (Thosea sp)
Ulat Api Coklat digolongkan kedalam ordo Lepidoptera, famili Limacodidae. Hama ni menyerang pucuk daun Tusam akibatnya sebagian pucuk daun akan dimakan habis dan daun rontok secara perlahan – lahan dan yang tertinggal hanya cabang – cabang pohon. Pada saat penelitian ditemukan hama ini berada pada stadia larva.
Larva memiliki bulu – bulu berwara coklat kehitaman disepanjang tubuhnya dengan panjang antara 15 – 18 mm dan apabila tersentuh kulit tubuh manusia akan terasa sangat gatal. Panjang tubuh larva 4,5 cm – 5 cm dan lebar 8 – 9 mm berbentuk bulat panjang, mempunyai thoraks yang kecil. Larva bergerak dengan gerakan merangkak dan memiliki tipe mulut menggigit mengunyah




4.1. 3. Kupu-kupu Coklat Tusam (Papilio sp)

Kupu-kupu Coklat Tusam digolongkan dalam ordo Lepidoptera, famili Papilionae. Pada saat penelitian yang ditemukan adalah sejumlah kepompong yang melekat pada dedaunan pohon Tusam.
Kepompong berwarna coklat kehitaman dengan garis – garis putih yang melingkar sepanjang kepompong dengan panjang rumah kepompong mencapai 5,5 cm dan diameter 1,5 cm.
Gejala serangan Kupu-kupu Coklat Tusam yakni sebagian daun Tusam yang sudah tua akan dimakan habis sehingga bagian yang tertinggal akan menjadi layu, berwarna kuning dan lama-kelamaan akan gugur hingga habis.

4.1. 4 Rayap Tanah (Macrotermes gilvus hagen)

Rayap jenis ini biasanya menimbulkan kerusakan terutama pada jaringan tanaman yang kaya akan zat pati/selulosa. Rayap ini berukuran kecil, antena berbentuuk seperti benang dan berekor pendek. Dalam kawasan hutan lindung rayap menyerang batang sebelah luar dengan membuat lorong-lorong pada kulit batang yang berjalur agak ke dalam hingga bagian sebelah dalam dari batang pohon Tusam. Gejala serangan rayap langsung dapat diketahui, karena pada bagian pohon yang terserang rayap akan membuat pelindung-pelindung berupa terowongan atau lorong-lorong yang tertutup dan terbuat dari tanah yang dicampur dangan sekresi mereka. Terowongan-terowongan tersebut dipakai sebagai jalan dari satu tempat ke tempat lain pada pohon yang terserang, atau antara pohon yang terserang dengan tanah, sehingga lorong-lorong tersebut berfungsi sebagai jalan penghubung akibatnya tegakan menjadi lapuk, busuk, berongga, dan akhirnya tumbang.
4.2. Kerusakan Tanaman
4.2.1. Intensitas Kerusakan Dan Luas Serangan
Intensitas kerusakan tertinggi akibat serangan hama pada tanaman tusam ( Pinus merkusii Jung et de Vriese ) di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon adalah Siput Daun tusam ( 29,96% ) , Ulat Api Coklat ( 38,13% ), Kupu - Kupu Coklat Tusam (37, 9% ) dan Rayap tanah ( 60,53% ) sedangkan luas serangan yang ditimbulkan akibat serangan keempat jenis hama Tanaman Tusam adalah Hama Siput Daun Tusam sebesar 20,78% tergolong kriteria ringan, Ulat api coklat sebesar 30,38% tergolong kriteria sedang , Kupu-kupu Coklat tusam sebesar 29,04% tergolong kriteria sedang dan Rayap tanah 68% tergolong kriteria berat. Perbedaan intensitas kerusakan dan luas serangan akibat serangan keempat jenis hama dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
a. Kultur Teknis
Tindakan pemeliharaan tanaman yang meliputi pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penyiangan terhadap gulma atau tanaman-tanaman penggangu lainnya tidak pernah dilakukan dalam kawasan hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon akibatnya ketahanan tanaman menurun ketika diserang oleh hama maupun penyakit. Disamping itu karena tidak pernah dilakukannya tindakan pengendalian hama maka berakibat penyebaran hama semakin meluas sehingga banyak tanaman yang terserang. Penyiangan terhadap gulma tidak pernah dilakukan sehingga terjadi kompetisi antara gulma dan tanaman dalam hal unsur hara, CO2 dan air akibatnya pertumbuhan tanaman tusam mengalami gangguan sehingga mudah sekali terserang hama.faktor jarak tanamanpun turut berbengaruh terhadap penyebaran dari kelima jenis diatas.
b. Iklim
Faktor iklim yang meliputi suhu,kelembaban dan kecepatan angin turut menunjang pertumbuhan tanaman maupun perkembangan hama. Hal ini dapat dilihat dari suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman Tusam adalah 18 C-30 C, dimana suhu ini sesuai dengan suhu makro optimal ( 26,5 0 C ) dan suhu mikro adalah 25,5 0C, dan kelembaban 71,5%.
Intensitas kerusakan dan luas serangan dari keempat jenis hama ini berbeda satu sama lain disebabakan karena setiap jenis hama memeliki interval suhu masing-masing untuk hidup dan berkembang biak. Suhu yang efektif bagi perkembangan hama yakni suhu minimum 15oC, suhu optimum 25oC-26oC, suhu maksimum 45oC ( Natawigena,1990 ).luas serangan dari hama Rayap Tanah lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas serangan hama lainnya. Hal inididuga karena ketersediaan bahan makanan dan kondisi lingkungan yang cocok bagi perkembangan rayap serta pengaruh faktor – faktor iklim yang turut mendukung. Disamping itu keberadaan gulma yang cukup banyak serta adanya jenis-jenis tanaman hutan lainnya dan tumbuhan pengganggu yang tumbuh dalam kawasan ikut berpengaruh terhadap kehidupan rayap dalam tanah maupun di sekitar pohon Tusam
c. Tanaman Jenis Lain Sebagai Tanaman Inang
Beberapa jenis tanaman hutan lainnya yang diduga dapat berperan sebagai tanaman inang bagi keempat jenis hama yang menyerang Tusam yakni Cemara (Casuarina Sp), Jambu Mete (Anacardium ocidentale), Salawaku (Paraserianthes falcataria), Ketapang (Terminalia catapa), Akasia (Acaccia decurens), Lamtoro (Leucaena glauca), Nani (Metrosideros vera). Kehadiran tanaman-tanaman hutan ini diduga dapat berfungsi sebagai inang lain atau sumber makanan lain bagi keberadaan dan penyebaran keempat jenis hama dalam kawasan.
d. Sifat Tanaman
Sifat tanaman Tusam (Pinus merkusii jung et de Vriese) diperkirakan dapat mempengaruhui keberadaan hama dalam menimbulkan kerusakan, dalam hal sifat fisik, sifat kimia tanaman dan umur tanaman. Kondisi ini jelas terlihat pada kerusakan yang ditimbulkan oleh setiap jenis hama. Tusam dikategorikan sebagai tanaman yang cepat tumbuh ( Fast growing spescies ) sehingga luka akibat serangan hama pada batang akan segera tertutup oleh Kalus yang dimiliki oleh tanaman Tusam sehingga serangan hama pada batang tidak terlalu banyak mempengaruhi kondisi tegakan yang ada. Selain itu umur tanaman Tusam dalam kawasan juga ikut berpengaruh terhadap ketahanan tanaman untuk diserang hama . tanaman Tusam yang tumbuh dalam areal diperkirakan berumur antara 10-12 Tahun sehingga menyulitkan hama batang untuk melakukan serangan, kerana semakin tua umur tanaman maka kemampuan mengatasi gangguan akibat serangan akan semakin kuat sehingga hama penggerak batang sulit untuk melakukan serangan, hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sunjaya (1970) bahwa umur tanaman mempengaruhi keras lunaknya atau rapat tidaknya ikatan pembuluh unttuk dijadikan sumber makanan bagi hama batang.
V. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1. Empat Jenis hama yang menimbulkan kerusakan pada tanaman Tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese) di areal hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon adalah hama pemakan daun yakni Siput Daun Tusam (Mollusca sp) dan Ulat Api Coklat (Thosea sp) dan hama penggerek batang , Kupu-kupu Coklat (Papilio sp), dan Rayap Tanah ( Macrotermes gilvus hagen).
2. Faktor utama yang sangat mempengaruhi kehadiran keempat jenis hama dalam kawasan adalah faktor iklim meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan
3. Sistem Kultur teknis berupa pemupukan, pengendalian hama, penyiangan gulma, pengaturan jarak tanam dan kehadiran tanaman inang lainnya turut berperan terhadap kehadiran keempat jenis hama dalam kawasan.



DAFTAR PUSTAKA

Natawigena, H., 1982. pestisida dan kegunaannya. Jurusan Poteksi Tanaman Faperta Unpad. Bandung.
Borror , Triplehorn and Jhonson, 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam.
Gajah Mada University Press.
Sugiharso, S. 1988. Dasar perlindungan Tanaman. Departemen Perlindungan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta Bogor.

Perbedaan intensitas kerusakan dan luas serangan akibat serangan keempat jenis hama dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain,
d. Kultur Teknis
Tindakan pemeliharaan dalam kawasan hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon tidak pernah dilakukan, akibatnya ketahanan tanaman menurun ketika diserang oleh hama maupun penyakit. Disamping itu karena tidak pernah dilakukannya tindakan pengendalian hama maka berakibat penyebaran hama semakin meluas sehingga banyak tanaman yang terserang. Penyiangan terhadap gulma tidak pernah dilakukan sehingga terjadi kompetisi antara gulma dan tanaman dalam hal unsur hara, CO2 dan air akibatnya pertumbuhan tanaman tusam mengalami gangguan sehingga mudah sekali terserang hama.faktor jarak tanamanpun turut berbengaruh terhadap penyebaran dari kelima jenis diatas.



e. Iklim
Faktor iklim yang meliputi suhu, kelembaban dan kecepatan angin turut menunjang pertumbuhan tanaman maupun perkembangan hama. Hal ini dapat dilihat dari suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tusam adalah 18° C-30° C, dimana suhu ini sesuai dengan suhu makro optimal ( 26,5° C ) dan suhu mikro adalah 25,5° C, dan kelembaban 71,5%. Intensitas kerusakan dan luas serangan dari keempat jenis hama ini berbeda satu sama lain disebabkan karena setiap jenis hama memiliki interval suhu masing-masing untuk hidup dan berkembang biak. Suhu yang efektif bagi perkembangan hama yakni suhu minimum 15oC, suhu optimum 25oC-26oC, suhu maksimum 45oC ( Natawigena,1990 ). Luas serangan dari hama rayap tanah lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas serangan hama lainnya, hal ini diduga karena ketersediaan bahan makanan dan kondisi lingkungan yang cocok bagi perkembangan rayap serta pengaruh faktor – faktor iklim yang turut mendukung.

c. Sifat Tanaman
Sifat tusam diperkirakan dapat mempengaruhi keberadaan hama dalam menimbulkan kerusakan, dalam hal sifat fisik, sifat kimia tanaman dan umur tanaman. Kondisi ini jelas terlihat pada kerusakan yang ditimbulkan oleh setiap jenis hama. Tusam dikategorikan sebagai tanaman yang cepat tumbuh ( fast growing spescies ) sehingga luka akibat serangan hama pada batang akan segera tertutup oleh kalus yang dimiliki tusam sehingga serangan hama pada batang tidak terlalu banyak mempengaruhi kondisi tegakan yang ada. Selain itu umur tusam dalam kawasan juga ikut berpengaruh terhadap ketahanan tanaman untuk diserang hama. Tusam yang tumbuh dalam kawasan diperkirakan berumur antara 10-12 tahun sehingga menyulitkan hama batang untuk melakukan serangan, kerana semakin tua umur tanaman maka kemampuan mengatasi gangguan akibat serangan akan semakin kuat sehingga hama penggerak batang sulit untuk melakukan serangan, hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sunjaya (1970) bahwa umur tanaman mempengaruhi keras lunaknya atau rapat tidaknya ikatan pembuluh unttuk dijadikan sumber makanan bagi hama batang.