kesehatan hutan

Selasa, 18 Mei 2010

Serangga di sekitar KIta

A. Pendahuluan
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata. Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku.
Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya maupun pada pohon – pohon hutan yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida. Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah.
Walaupun demikian sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
B. Identifikasi Dan Klasifikasi Serangga
Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang menjadi hama pohon hutan perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah, batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara penanganannya. Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang. Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut taksonomi (Taxonomy).
Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau. Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon (kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb. Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi. Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan. Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar. Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen serangga yang berlapis. Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan.
Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama. Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel). Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan dikemas sebagai insektisida Thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida. Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.
C. Reproduksi Serangga
Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun). Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi sasaran makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur menetas.
Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur – larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa. Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa, biasanya pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang sama.
Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva bisanya sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang mencari serbuk bunga sebagai makanannya.Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang “tidak aktif” (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium yang berfungsi sebagai pelindung. Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin. Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur tumbuh (Insect Growth Regulators, IGR).
Salah satunya adalah pengendalian dengan hormon pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran) karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu, sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.
D. Ekologi Dan Populasi Serangga
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut (phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan pengendaliannya. Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim (univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine). Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan laju kematian. Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus) di Baluran, populasi rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan, Bogor dan seterusnya. Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra) populasi, serta efek populasi terhadap lingkungan. Populasi adalah sekelompok individu dari suatu spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-spesies yang berbeda. Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool).
Spesies adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang sama. Tingkatan organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari berbagai spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun adalah bioma (biome). Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).
E. Jaring Makanan, Rantai Makanan Dan Hubungan Trofik
Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial untuk kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan.
Pola hubungan aras trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi sangat kompleks. Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof) adalah tumbuhan (termasuk beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen. Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau adalah karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat karnivora.
Sebagaimana halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan karnivora dapat dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga biasanya berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag (memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada musim panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (Yang mengalami metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu menghindar dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies). Sifat adaptasi ini menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga holometabola, yang mencakup 85 persen dari seluruh spesies serangga. Sisanya (15 persen) adalah serangga hemimetabola yang pada stadium dewasa dan pradewasa memiliki morfologi dan perilaku makan yang sangat mirip satu dengan yang lain. Studi populasi bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam studi ini acapkali dipergunakan model untuk menjelaskan sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif. Model adalah simplifikasi dari suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Untuk menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada lamtoro (Leucaena spp.) misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah lagi karena menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan di bawah normal. Dengan curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan kutu akan berkurang, pemangsa kutu loncat (Curinus coeruleus) akan menurun populasinya dan mungkin akan kesulitan memperoleh mangsa yang lain.
Dengan berkurangnya predator, kemungkinan pada musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik. Turun naiknya populasi kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua tahunan sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi). Dasar-dasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor curah hujan dan pemangsanya.
Untuk mendapatkan model yang lebih baik, wawasan kajian perlu diperluas dengan memasukkan faktor-faktor lain seperti informasi mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi terhadap pertumbuhan lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit, parasitoid), kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat genetik dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya tergantung pada curah hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu diketahui kemudian dicari besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang lain yang juga mungkin merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek yang kita kaji. Penelitian ekologi populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan seperti bagaimana perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati A ? Bagaimana nasib hutan hujan tropik Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita dalam memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas masalah-masalah seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif tetapi ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan, fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpan-balikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil yang lebih tajam.

Tidak ada komentar: