kesehatan hutan

Rabu, 01 September 2010

FragMenTasi Habitat Gunung Nona Ambon


Kajian Fragmentasi Habitat Terhadap Diversitas Semut
Dan  Perananya Sebagai  Indikator Ekologi Dalam Kawasan
Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon 
Oleh : Fransina Latumahina.S.Hut.MP
Dosen Faperta Unpatti Ambon 

Indonesia adalah negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna di dunia sehingga Indonesia disebut sebagai negara Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia, yang mana dari setiap jenis tersebut terdiri dari ribuan plasma nutfah dalam kombinasi yang cukup unik sehingga terdapat aneka gen dalam individu. Secara total keanekaragaman hayati di Indonesia mencapai 325.350 jenis flora dan fauna.
Tekanan terhadap kawasan hutan melalui aktivitas penyerobotan kawasan hutan , untuk pembukaan lahan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap habitat hutan yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan akan berimbas pada hilangnya keanekaragaman hayati flora dan fauna dan pada gilirannya akan menjadi ancaman terhadap fungsi dan peran kawasan hutan secara berkelanjutan (Hoekstra  et al., 2005).
Fragmentasi habitat dalam hutan dapat terjadi secara alami tanpa disengaja oleh manusia dan dapat terjadi karena pengaruh manusia didalamnya. Secara alami fragmentasi terjadi karena adanya proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak sebuah ekosistem dan adanya aktivitas manusia melalui beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain aktivitas perubahan lanskap melalui pembangunan jalan secara parmanen didalam dan sekitar hutan, penyerobotan hutan untuk dijadikan kawasan pemukiman, pembukaan lahan pertanian, perkebunan, tegalan dan pembakaran hutan secara sengaja.
Semua faktor ini akan mengubah eksosistem hutan secara cepat sehingga secara alami dapat menyebabkan terjadinya spesiasi dan terjadinya kepunahan banyak spesies dimana habitat yang sebelumnya terhubung dalam kesatuan fungsional akan terbagi menjadi dua fragmen atau lebih dan setelah terjadi pembersihan habitat yang intensif, kedua fragmen yang terpisah tersebut akan terisolasi satu dengan lainnya. Selain itu juga akan terjadi pecahnya lanskap yang luas menjadi bidang-bidang lahan (patch) yang lebih kecil dan biasanya patch ini secara ekologis akan berkurang bahkan tidak lagi berhubungan satu sama lain (Theobald, 2000).
Fragmentasi habitat hutan akan ikut mempengaruhi kondisi iklim mikro didalam sebuah ekosistem hutan terutama terhadap  intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin (Laurance 2000). Fragmentasi Habitat juga dapat menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang serta terbagi-bagi  dan mengalami isolasi oleh bentang alam yang terdegradasi ,dimana pada bentang alam tersebut daerah tepinya akan mengalami serangkaian perubahan kondisi yang dikenal dengan efek tepi. ( Laurance dkk.2001, Spellerberg dkk.2002, Forman dkk.2002). Efek tepi dapat menambah daerah tepi secara drastic sehingga lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro daerah bagian tengah dimana efek tepi ini masih dapat dideteksi  hingga 250m kedalam hutan dan juga  tepi efek dapat menciptakan evolusi tanaman atau pun microba pengganggu spesies yang akhirnya mendominasi habitat dan terjadi serangan spesies asing dan terjadi pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas pada fragmen kecil serta terjadinya isolasi spasial populasi yang masih tersisa.  (Rochelle dkk .1999).
Ketika habitat  telah ter fragmentasi atau tersub-populasi  menjadi areal yang terbatas , maka kondisi ini dapat mempercepat proses pemusnahan mahkluk hidup baik flora maupun fauna sehingga muncul  populasi yang berukuran kecil sehingga akan sangat rentan terjadinya perkawinan silang dalam atau perkawinan sedarah (inbreeding), dan terjadi penurunan genetik (genetic drift)
Konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon pada tahun 1999 memberikan dampak bagi kehidupan sosial masyarakat di Kota Ambon. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan tempat untuk mencari nafkah. Akibat dari terbatasnya ruang gerak warga masyarakat Kota Ambon saat itu maka banyak warga yang mencari tempat baru untuk bermukim dan mencari nafkah yang jauh lebih aman dari lokasi tempat tinggal sebelumnya. Salah satu pilihan yang tersedia pada saat itu dan dianggap cukup aman adalah Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon yang terletak sekitar 8 km dari pusat Kota Ambon  atau sekitar 3 km dari pemukiman penduduk yang terkesan aman bagi sebagai warga Kota Ambon.  Hutan lindung Gunung Nona dianggap aman oleh sebagian masyarakat karena warga bebas untuk membangun pemukiman mereka tanpa terganggu oleh konflik, membuka hutan untuk dijadikan lahan bercocok tanam baik lahan pertanian , tegalan maupun perkebunan. Dimana dengan aktivitas ini warga dapat mempertahankan hidup mereka selama konflik benar benar berakhir di kota Ambon. Disisi lain saat itu juga pemerintah Kota Ambon tidak memberikan larangan kepada warga untuk tidak boleh beraktivitas dalam kawasan, pemerintah kota Ambon seakan – akan menutup mata terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu juga terjadi konflik antara pemilik tanah dengan pemerintah Kota Ambon menyangkut status tanah dari hutan Lindung Gunung Nona ini, akibatnya Hutan Gunung Nona benar – benar tidak mendapat perhatian sama sekali dalam pengelolaannya hingga saat ini.
Penyerobotan areal oleh masyarakat kedalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan sangat mempengaruhi fungsi dan peran dari kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon. Fragmentasi habitat hutan Gunung Nona menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang serta terbagi-bagi menjadi beberapa fragment/perca (Laurance dkk.2001, Spellerberg dkk.2002, Forman dkk.2002). Hasil survey dan pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kota Ambon bersama Bapedda Kota Ambon akhir tahun 2008 menemukan bahwa saat ini Hutan Lindung Gunung Nona telah mengalami alih fungsi  kawasan menjadi pemukiman seluas 30 Ha, pertanian (150 ha), perkebunan  (146 Ha), tegalan (60,76 Ha), dan hanya tersisa 140 Ha berupa hutan murni dan semak belukar seluas 34,85 Ha. Proses alih fungsi kawasan hutan lindung Gunung Nona menjadi bentuk lain ini menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat dan memberikan pengaruh besar terhadap kekayaan dan keanekaragaman serangga dalam kawasan. Gangguan fungsi dan peran kawasan hutan lindung Gunung Nona makin diperparah dengan pembangunan jalan aspal di beberapa lokasi dalam kawasan dan membelah kawasan hutan Gunung Nona, akibatnya tutupan hutan yang dikorbankan untuk pembangunan jalan dalam kawasan untuk menunjang mobilisasi beberapa stasiun pemancar televisi pemerintah dan swasta di Kota Ambon.
Semut yang berasal dari famili Formicidae, ordo Hymenoptera banyak ditemukan pada hampir setiap jenis ekosistem kecuali di daerah kutub termasuk dalam kawasan hutan lindung. Kehadiran semut dalam sebuah ekosistem dapat berperan sebagai predator (72 genera ), dekomposer (31 genera ) dimana semut mampu menghancurkan materi tumbuhan dan hewan yang telah mati, sehingga mempercepat dekomposisi dan pembentukan humus dalam hutan, pemakan bangkai (2 genera), parasit  (1 genera) dan sebagai herbivora (21 genera) dengan menjadi hama bagi tanaman, karena semut akan memakan dedaunan, cairan tumbuhan, embun madu, jamur (12 genera), biji – bijian (3 genera), nectar (5 genera) dan pemakan tepung sari (12 genera), sebagai karnivora (10 genera ) dan Omnivora (7 genera) dan yang sangat penting adalah semut dapat digunakan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi sebuah ekosistem hutan karena semut mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, menyebar dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi dan memungkinkan untuk diidentifikasi (Wilson, 1976; Hölldobler & Wilson, 1990).  Sebagian besar semut mempunyai lokasi hidup tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah mencari makan yang terbatas, sehingga akan sangat mudah dijadikan indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002; Longino et al., 2002).
Di Indonesia , semut dapat mencapai jumlah yang sangat banyak dengan variasi jenis yang cukup tinggi dalam ekosistem hutan, namun penelitian ilmiah dan publikasi mengenai potensi semut di Indoenesia masih sangat minim dilakukan. Hasil penelitian tahun 2001 tentang keanekaragaman semut dalam kebun raya Bogor ditemukan 216 jenis dan meningkat ditahun 2005 menjadi 226 jenis dengan adanya penambahan 10 jenis lainnya (Herwina dan Nakamura, 2007). Dalam publikasinya tahun 2008, Ito et al  menjelaskan bahwa hasil inventarisasi terhadap semut dalam Kebun Raya Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan 7 metode sampling antara tahun 1985 hingga tahun 1998 ditemukan 216 spesies dengan 9 sub subfamily. Melalui perbandingan hasil penelitian ini ditambah dengan beberapa laporan dari wilayah hutan hujan tropika Asia, maka dijelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun Raya Bogor mirip dengan yang ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah lainnya di Jawa Barat, namun sangat berbeda dengan yang ditemukan pada hutan hujan di wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah ditemukan pada hutan primer dataran rendah di wilayah Asia lainnya (Brühl et al., 1998 dan lihat Ito et al., 2001). Namun demikian Kebun Raya Bogor yang terletak di pusat perkotaan dengan tingkat ganguan manusia yang cukup tinggi mampu menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang di temukan di wilayah subtropika dan temperate (Ito et al.,2001).
Kekayaan dan keanekaragaman semut dalam habitat akan tetap terjaga apabila kondisi habitat berada dalam kondisi seimbang, tidak mengalami gangguan dan tidak terfragmentasi, karena kondisi ini akan mengancam populasi semut yang ada. Kondisi terfragmentasi ini disebabkan karena beberapa faktor yang terjadi diantaranya terjadinya dalam habitat, banjir, erosi, bencana alam, aktivitas manusia dengan melakukan pembakaran secara sengaja, pembukaan lahan dan alih fungsi ekosistem menjadi bentuk lainnya.  Fragmentasi habitat yang terjadi dalam kawasan hutan Gunung Nona bukan hanya mempengaruhi fungsi dari kawasan hutan ini, tetatpi juga sangat mempengaruhi dan menganggu kehidupan fauna khususnya serangga yang hidup didalamnya. Salah satu serangga yang ikut mengalami dampak akibat terfregmentasinya hutan Gunung Nona adalah semut, padahal semut memiliki banyak peran dalam sebuah ekosistem . salah satu peran penting semut adalah dapat dijadikan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi kesehatan sebuah ekosistem.
Semut yang berasal dari ordo Hymenoptera banyak ditemukan dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon dan mampu berperan secara aktif dalam kawasan. Rahmawaty (2004) menyebutkan bahwa semut dapat mencapai 70 % dari populasi fauna tanah tropika dan  dapat membantu kesuburan tanah hutan serta berperan dalam proses suksesi dan berpengaruh terhadap stabilitas ekosistem hutan. Kekayaan dan keanekaragaman jenis semut dan vegetasi akan menjadi sumber kekuatan bagi hutan lindung Gunung Nona guna menunjang kawasan untuk berfungsi dan berperan sebagai kawasan lindung di Kota Ambon. Salah satu peran penting dari semut dalam ekosistem hutan adalah sebagai indikator biologi untuk menilai kualitas sebuah eksosistem. Dalam penelitian ini semut akan dijadikan sebagai serangga indikator untuk menilai sejauh mana fragmentasi yang telah terjadi dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon karena semut mampu memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem (Greenland dan Szaboles dalam Matfuah et all, 2002).
 Semut dapat mendeteksi perubahan dalam ekosistem yang mencerminkan arah dan laju dampak spesifik dari ekosistem. (Andersen,1997 ; King et al.1998). Semut mampu menciptakan korelasi yang kuat terhadap variabel – varibel dalam ekosistem yakni vegetasi , iklim mikro, tanah, struktur vegetasi hutan dan kekayaan faunal tanah lainnya. Semut  berperan menentukan keseimbangan ekosistem dan populasi spesies lain dalam sebuah ekosistem sehingga ketika terjadi perubahan pada populasi semut maka perubahan tersebut akan berhubungan erat dengan perubahan dalam ekosistem hutan. Semut dapat mendeteksi kehadiran spesies invasif, mendeteksi trend yang terjadi diantara spesis yang terancam punah dalam ekosistem, mengevaluasi tindakan pengelolaan tanah dan menilai perubahan ekosistem dalam jangka panjang. Dalam ekosistem hutan semut sangat repsonsif terhadap berbagai kegiatan konversi lahan karena konversi lahan akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman vegetasi, struktur vegetasi,  dapat mempengaruhi iklim mikro dalam tanah, karakteristik humus dan suhu permukaan tanah ( Levin and windstor,1994). 
Sahabudin (1998) mengatakan bahwa makrofauna tanah termasuk semut mampu menilai kesehatan ekosistem hutan. Beberapa studi tentang penggunaan semut sebagai indikator ekosistem telah banyak dilakukan antara lain pada areal reklamasi tambang di Australia (Majer 1985, 1996; Andersen 1993 dan Brasil (Majer 1994).  Semut juga sangat efektif untuk menilai gradien lingkungan untuk tujuan pengelolaan tanaman di Nikaragua dan Costarica dimana akan terjadi sosiasi antara keanekaragaman semut dan sayuran  yang ditanam. Delabie dan Fowler (1993) menemukan bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi kehadiran semut dalam perkebunan Kakao di  Brasil karena hal ini berkaitan dengan kandungan nitrogen pada tanaman yang ditanam , pengelolaan tanah dan kondisi tanah pada perkebunan tersebut dimana komposisi semut dalam ekosistem sangat tergantung pada kondisi lingkungan, dimana semut akan mengalami perubahan kehadiran, vitalitas dan respon sebagai akibat pengaruh kondisi lingkungan yang terjadi. Semut akan memberikan respon apabila terjadi gangguan terhadap vegetasi dan tanah sebagai habitat hidupnya. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman semut dalam ekosistem adalah intensitas cahaya matahari, kelembabab udara, temperatur dan air serta musim dimana musim akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan, kemampuan hidup semut dan kelimpahannya di alam. 
Semut juga dapat menjadi indikator polutan dialam dibandingkan invertebrata lain terutama untuk radioaktivitas dan polutan yang diakibatkan kegiatan industri (Torossian dan Causse, 1968; Le Masne dan Bonavita-Coug,1972) Petal et al., 1975). Hal ini disebabkan karena sekitar 10 % dari populasi semut berada di luar sarang sehingga akan terkena dampak negatif dari polutan, sehingga akan mengubah pola kegiatan semut pada saat polutan semakin banyak meskipun  kurang berbahaya, namun kepadatan koloni semut dan jumlahnya akan semakin menurun dengan semakin tingginya tingkat polusi (Petal, 1978a). Semut dapat menjadi salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor keanekaragaman hayati karena sebagian besar semut mempunyai lokasi tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah mencari makan yang terbatas, sehingga semut dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem dan populasi spesies lainnya sehingga ketika terjadi perubahan pada populasi semut maka kondisi tersebut berhubungan erat dengan perubahan kondisi hutan. (Chung & Mohamed, 1996 ; Peck et al, 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al. 2002 , Longino et al. 2002),
Bertolak dari dasar pikir ini maka diharapkan lewat penelitian ini akan mendapat gambaran tentang pola fragmentasi yang terjadi dalam kawasan hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon sebagai akibat dari tekanan aktivitas manusia, dampak yang dari terfragmentasi kawasan hutan lindung, bagaimana menilai kwalitas habitat hutan lindung Gunung Nona meskipun telah terfragmentasi dengan menggunakan semut sebagai indikator ekologinya.

Tidak ada komentar: